MENYAPA BROMO DI BULAN RAMADHAN

Perjalanan ini merupakan perjalanan penuh tantangan, perjalanan yang menegangkan, serta perjalanan nan singkat yang pernah kulalui. Perjalanan ini ada ketika aku masih duduk di kelas 10 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Di mana aku berada di sebuah kota dengan hawa dingin yang setia menyelimuti penduduknya. Kutub Utaranya Jawa kalau kukatakan. Kota itu adalah Malang. Di sinilah kisah perjalananku dimulai.
Libur sekolah telah tiba. Kami yang notabene siswa, tentu sangat memfavoritkan waktu itu. Waktu yang langka, karena hanya terjadi sekali dalam setahun. Aku berasumsi bahwa liburanku bakal membosankan. Mengapa? Tentu ini karena aku membandingkan dengan liburan lalu. Aku hanya berdiam diri di rumah. Menonton televisi, mendengar musik, gaming, serta berbagai kegiatan bermalas-malasan lainnya adalah kebiasaan yang tak luput dari hari-hariku. Teman-teman sekolahku lebih sering mengunjungi saudara mereka, sekaligus berlibur ria dengan saudaranya itu. Aku iri dengan mereka. Andai berlibur bersama saudara dapat kulakukan, batinku.
Tak ada cerita menarik dalam liburanku hingga minggu pertama dan kedua berlalu. Itu seperti aku menjadi seorang pengangguran yang tak memiliki kegiatan apapun selain bolak-balik makan, mandi, tidur. Kamar, dapur, kamar mandi, ruang menonton, hingga teras rumah adalah tempat-tempat yang tak henti-hentinya aku singgahi di rumah ini. Selalu begitu tiap harinya. Ditambah ini merupakan bulan Ramadhan, sungguh tak terbesit sedikitpun niat untuk melakukan sesuatu yang menyita tenaga dan pikiran, kecuali untuk beribadah.
Sebelum liburanku ini berakhir, kabar gembira datang padaku. Kabar ini seakan menjawab kecemburuanku pada temanku tentang berlibur bersama saudara. Kabar yang begitu menggembirakan dan tentu sangat tak terduga. Di luar ekspektasi. Benar-benar tak terbayangkan sebelumnya.
Siang itu, ketika aku sedang asyik-asyiknya menonton film keluarga, Home Alone, ibuku bertanya padaku.
“Dik, mau ikut ke Bromo?”, Tanya ibuku.
“Bromo? Bromo itu tempat apa? Dimana? Sama siapa?”, tanyaku bingung pada ibuku. Memang, aku agak asing dengan gunung yang satu itu. Benar-benar belum pernah dengar sama sekali.
“Bromo itu gunung, dik. Masa nggak tau sih?”, jawab ibuku heran.
Ya memang kuakui, aku cukup kudet kalau sudah berbicara tempat wisata. Aku memang anak rumahan. Jarang keluar. Bukan karena aku tidak suka keluar main ataupun sekedar jalan-jalan keluar bersama teman, melainkan aku jarang ditawari hal seperti itu dengan temanku. Alasan mereka, tempatnya jauhlah, tak ada kendaraanlah, ngedate bareng pacarlah, dan banyak lagi alasan lainnya.
“Oh gunung, emang di mana itu, Bu? Sama siapa aku ke sana?”, aku mengulang lagi pertanyaanku.
“Di Probolinggo. Nanti perginya bareng sama Papa juga warga Linmas, naik motor, tapi Mama nggak ikut.Gimana?”, ujar ibuku.
“Iya, ikuuuuuuuuuuuuutttt..!!”, kataku sangat antusias.
Aku sangat bahagia. Benar-benar bahagia. Hatiku dengan lantang meneriakkan kegembiraannya. Ingin rasanya aku melompat-lompat sambil bersorak ‘yeeeeeeaaaaaayyyyy..’ saat ini juga, saking senangnya aku mendengar kabar tak terduga itu. Akan tetapi, kuurungkan, karena tak terbayang pula seperti apa ekspresi ibuku melihatku bertingkah begitu.
Hal yang selalu kutunggu tiap harinya ternyata menjadi nyata dalam beberapa waktu lagi. Hari pendakianku akan kumulai dua hari lagi.
H-1 sebelum pemberangkatan, aku menyiapkan segala sesuatu yang kubutuhkan sebagaimana seorang pendaki. Mulai dari kaos yang akan kukenakan, sweater hangat, jaket tebal, jeans, masker, topi, sarung tangan, kaos kaki, dan sepatu. Tak lupa benda yang selalu kupakai ke manapun aku pergi, arloji. Untuk bekal, aku sangat mengandalkan ibuku untuk menyiapkannya.
Hati dan pikiranku tak karuan untuk menghadapi hari esok. Hari yang akan menjadi saksi dari sebuah pengalaman dan perjalananku menuju puncak tertinggi Bromo. Waktu yang begitu mendebarkan di kala menanti detik demi detik yang mengantarku pada hari itu. Hari pendakianku. Hari bersejarahku di 15 tahunku ini.
Selepas dzuhur, akupun telah bersiap dengan pakaian yang telah aku rencanakan sebelumnya. Hanya minus memakai sepatu dan helm. Menanti ayahku yang sedang bersiap-siap, aku memeriksa kembali barang bawaanku serta memastikan baterai ponselku telah terisi penuh.
Pukul 13.00 WIB aku dan ayahku bersiap meninggalkan rumah. Setelah pamit pada ibuku, kami pun beranjak menjauh dari rumah, menjauh dari pandangan ibu. Tujuan pertama kami adalah menuju titik kumpul yang telah disepakati ayah dengan para anggota Linmas lainnya. Itu berada di halaman rumah salah satu anggota Linmas, menurutku. Ternyata beberapa teman ayahku mengajak istrinya mendaki. Selain teman ayah, ternyata ada beberapa remaja juga yang ikut dalam rombongan ini. Akan tetapi, hanya akulah remaja perempuan seorang.
Pukul13.20 WIB, aku dan rombongan memulai perjalanan. Menyusuri jalanan Kota Malang yang begitu ramai, dengan terik matahari yang menyengat, membuatku sangat tak nyaman. Namun, tak kupedulikan. Aku hanya ingin melihat lintasan jalanan yang kulewati saat ini. Memang selalu begitu ketika aku bepergian. Aku hanya fokus melihat kanan dan kiriku. Tidak istimewa, tapi bagiku itu seperti alam sedang menyapaku. Menunjukkan bahwa dia dikelilingi gedung-gedung, pepohonan, rumah-rumah, orang-orang, kendaraan, dan banyak objek lainnya sebagai isi dunia ini. Dan aku, tentu sebagai tamu mereka.
Tak terasa, selaput jingga telah menghiasi langit-langit Kota Probolinggo. Setelah sekitar dua jam berkendara, kami singgah di sebuah masjid untuk menunaikan ibadah sambil meminta restu pada Sang Kuasa agar perjalanan ini diperlancar.
Perjalanan pun berlanjut. Aku sempat melirik arlojiku. Waktu telah menunjukkan pukul 15.40 WIB. Aku berdoa agar perjalanan ini lekas sampai. Aku tak ingin melewati sunset di Bromo.
“Ayolah, ngebutttt… ngebut..!!”, hatiku menjerit dan memohon.
Aku, saat itu tidak mengetahui jarak dari Probolinggo untuk sampai pada Gunung Bromo. Pun dengan waktu tempuhnya. Aku hanya ingat sore itu kami mulai melewati jalanan pedesaan yang nampak sepi. Di kanan dan kiriku adalah pepohonan beserta rumput-rumput liar di pinggiran jalan. Tampak abu Gunung Bromo menyelimuti dedaunan pohon-pohon dan rumput liar itu. Kusadari pula jeans hitam dan sepatu yang kukenakan juga tak luput dari noda abu tersebut. Aku mulai merasakan hawa dingin menerpa wajahku. Tak lama, jalanan mulai terasa berat sebab tanjakan telah menanti di depan. Berliku-liku, berbelok-belok, adalah tantangan yang hendak kami lalui juga.
Sejenak, kami mengambil waktu istirahat. Para rombongan memanfaatkan waktu luang istirahat untuk berfoto bersama. Dengan berlatarkan pohon-pohon, kabut dan langit sore. Belum terlihat lelah pada wajah sumringah mereka. Saat itu, aku menolak perintah ayah untuk ikut berfoto ria. Aku tidak memiliki kepercayaan diri untuk bergabung dengan mereka. Biarlah moment ini tetap terpatri dan terrekam dalam ingatanku saja.
Telah puas berfoto, perjalanan kami lanjutkan kembali. Sebelum itu, ayah memakai masker dahulu sebelum tancap gas. Semakin dekat dengan kawasan Bromo, hawa dinginpun mulai terasa menusuk-nusuk tulang. Awalnya hanya wajahku, kini tubuhku pun mulai merasakan dinginnya udara itu. Tanganku otomatis kumasukkan kedalam kantong jaket. Tak lupa, masker juga kupasang karena hidungku benar-benar terasa dingin. Bagiku, masker ini bukan untuk melindungi pernapasanku dari debu, melainkan dari dinginnya udara yang kuhirup. Ya, memang aneh hidungku ini.
Sebelum benar-benar masuk dalam kawasan Bromo, kami menunggu sejenak, karena salah satu teman ayah sedang membayar fee pada petugas.Setelah diperbolehkan masuk oleh petugas, kami pun telah resmi menjadi tamu bagi Bromo.
Aku bersyukur pada Tuhan, karena telah membuat perjalanan ini lancar. Pun dengan waktu yang ditempuh, benar-benar tidak seperti yang kutakutkan. Mengapa? Sebab langit sore masih belum bertransformasi menjadi malam.
Setelah jalanan berkelok-kelok yang kulalui tadi, kini tantangan baru bagi kami, pengendara motor, adalah jalanan berpasir. Lautan pasir benar-benar hal yang tak mudah untuk dilalui. Namun, tak ada pilihan lain sebab hamparan pasir ini ibarat jembatan penghubung kita pada Gunung Bromo. Berkali-kali hampir saja aku dan ayahku terjatuh, namun beruntungnya, kami tidak benar-benar jatuh seperti beberapa teman ayah.
Mengabaikan tantangan tadi, aku benar-benar terhipnotis dengan view yang mataku tangkap. Bukit-bukit di atas hamparan pasir ini –dimana orang-orang menyebutnya Bukit Teletubbies- terlihat menawan dengan disirami cahaya mentari sore, benar-benar seperti aku melihat duplikat Bromo dari dekat. Begitu pula bukit-bukit menjulang tinggi nan jauh di pinggiran itu, bagaikan pagar yang melindungi kawasan Bromo ini. Aku sebagai pengunjung pun merasa seperti berada di sebuah halaman istana kerajaan pegunungan yang sangat luas. Ingin rasanya kuabadikan moment ini dalam sebuh foto. Hanya saja ponsel milikku tanpa kamera.
Aku tak henti-hentinya memanjatkan syukur atas kesempatan yang diberikan Tuhan untuk melihat lukisan-Nya yang begitu menakjubkan itu. Ditambah sunset yang masih sempat kulihat di lautan pasir Bromo ini. Benar-benar tak terduga, karena kupikir aku dan rombonganku akan tiba setelah matahari terbenam. Namun, Dia memberikan surprise yang luar biasa.
Sesampai kami di kawasan yang dekat dengan Bromo, kami mampir ke sebuah tempat, dimana penduduk Suku Tengger menjadikannya tempat beribadah bagi pengunjung muslim. Terlihat lambat laun langit tak lagi bercahaya, hendak berganti malam. Pertanda adzan maghrib telah berkumandang. Aku pun membatalkan puasaku dengan meminum air dari botol yang kubawa dan shalat di tempat tersebut.
Seusai beribadah, kembali para rombonganku berselfie ria. Aku pun tergoda ingin ikut berfoto bersama mereka. Akhirnya sebelum pose terakhir berakhir, aku segera merapat pada mereka.
Berbuka puasa di pegunungan memang suatu hal yang langka. Aku sangat bersyukur pengalaman ini kumiliki. Walau bekal yang kubawa telah habis kusantap, namun tetap saja tubuh ini menggigil karena udara yang super-duper dingin. Aku pun membeli secangkir Energen sebagai penghangat tubuh.
Sekitar pukul 19.00 WIB, aku berjalan-jalan melihat suasana kawasan Bromo ini bersama ayah. Terdapat beberapa penjual di sekitar kawasan tersebut. Namun, perutku sudah terasa penuh alias kenyang untuk mencoba jajanan dari para pedagang.
Kembali lagi aku dan ayah ke tempat semula kami berkumpul tadi. Tak lama setelahnya, aku pun diajak beberapa teman ayah diikuti beberapa remaja lainnya untuk mulai mendaki Bromo. Ayah dan beberapa temannya tidak ikut mendaki, melainkan menjaga sepeda motor milik kami.
Ditengah dinginnya udara Bromo, aku memaksa kakiku untuk terus melangkah. Tanjakan ini membuatku mulai merasa lelah dan sedikit gemetar. Tapi, aku sudah bertekad untuk terus berjalan, walau sebagaimanapun lelah ini mendera kakiku. Belum lagi haus menyerang kerongkonganku. Para ibu-ibu –atau istri teman ayahku- berhenti sejenak di tengah perjalanan untuk membeli air. Akupun mengikutinya, dan dahaga ini tak lagi kurasakan.
Hampir sedikit lagi aku berada di puncak tertinggi Gunung Bromo. Kali ini, tanjakan yang akan kulewati terbantu dengan adanya tangga. Berduyun-duyun para pendaki menanjakinya, termasuk aku. Dengan semangat’45 kulalui anak tangga satu demi satu. Dalam hati kuhitung jumlah anak tangga itu. Sekitar dua ratusan. Aku lupa detailnya, yang pasti ratusan anak tangga ini pada akhirnya mengantarkanku pada puncak Gunung Bromo.
Aku sampai di puncak sekitar pukul 21.00 WIB. Hal pertama yang kulakukan adalah menatap lagit-langit malam. Rasanya begitu dekat bintang ini dari mataku. Kucoba menyentuhnya, tapi tak sedekat seperti perkiraanku. Sejenak, aku hampir lupa dengan kakiku yang mulai lemas, 'saking' senang dan bangganya diriku karena dapat menaklukkan segala tantangan hingga aku sampai di puncak tertinggi Bromo. Ingin sekali aku memotret diriku ketika berada di tepi atas kawah Bromo ini. Sungguh ingin, sangat ingin. Lagi-lagi aku hanya bisa merekam moment ini dalam otakku.
Akibat malam yang hanya ada bintang-bintang, maka gelap sajalah yang dapat kupandangi. Tak satupun objek dapat kutangkap dari mataku, selain siluet para pendaki dan ponsel mereka dengan layar standby. Sangat disayangkan memang. Untuk melihat kawah Bromo pun, mataku tak mampu. Bahkan, dengan sinar ponsel canggih sekalipun, itu masih belum cukup.
Selang15 menit, aku dan rombongan pun turun. Tak seperti ketika mendaki, jalanan yang awalnya menanjak ini pun sangat mudah dilalui. Kutinggalkan saja rombonganku jauh di belakang, karena memang dengan jalanan menurun ini, langkahku menjadi lebih cepat dan besar. Aku adalah orang pertama yang sampai di tempat ayah berjaga, dari rombonganku itu.
Pukul 22.00 WIB kami memutuskan untuk pulang. Menjelang tengah malam, udara semakin dan semakin dingin. Akupun mulai bernapas menggunakan mulut, hidungku membeku. Lautan pasir di sore hari ternyata lebih baik daripada malam hari. Sangat menegangkan dan penuh perjuangan untuk melaluinya dalam gelap malam.
Menjauh dari Bromo, kembali kami melalui lika-liku jalanan. Tak ada penerangan apapun kecuali lampu sepeda motor. Rasa takut mulai menjalari pikiranku. Untuk itu, aku hanya melihat ke depan dan tak berniat untuk menoleh kanan dan kiri.
Di setengah perjalanan kami, ternyata para pengendara ini, termasuk ayahku lupa jalur untuk pulang. Ketika melewati pertigaan jalan pun, rombonganku hanya menebak dan sesuai dengan keyakinan hati saja. Akhirnya, ayahku memutuskan untuk bertanya ke salah satu rumah dengan lampu yang masih menyala. Aku ragu apakah rumah itu berpenghuni. Seandainya berpenghuni pun, tentu akan susah ditemui karena mereka otomatis sudah terlelap ditengah malam begini.
Anehnya, ayahku berkata bahwa tadi beliau melihat seorang wanita di dalam rumah itu. Padahal jelas-jelas terlihat kosong. Setelah kuketuk berkali-kali pun tak ada yang membukakan. Bulu kudukku mulai berdiri. Suasana ini dalam beberapa menit terasa mencekam. Namun, aku beranikan diri untuk menunggu sebentar lagi sambil mengintip melalui kaca jendela. Tetap, hanya hening yang menyapa. Aku pun cepat-cepat kembali dan memberitahu ayah bahwa tidak ada orang di rumah itu.
Aku dan rombongan pun mulai berkendara lagi dengan ingatan seadanya. Dalam hati aku terus berdoa agar tidak tersesat. Hingga akhirnya kami menemukan jalan raya dan bertanya pada warga yang begadang di pinggir jalan. Mungkin menunggu waktu sahur. Setelah diberi petunjuk oleh warga tersebut, rombonganku memulai perjalanan sesuai yang diarahkan warga.
Syukur alhamdulillah, sekitar pukul 02.30 WIB, kami pun tiba di Malang. Kantuk pun mulai terasa pada kedua mataku. Aku pun menguap berkali-kali. Tak jarang kepalaku –yang dilindungi helm- membentur helm ayahku. Sungguh, mataku ini memang tak bisa diajak kompromi.
Sesampai di rumah, ibu telah siap menyambutku dan ayah. Langsung saja aku berhambur masuk karena kedinginan dan cepat-cepat berganti pakaian. Ibu telah menyiapkan sahur untuk kami. Aku pun segera melahapnya. Tak lupa aku menggosok gigi setelahnya. Ingin rasanya kurebahkan diri ini di kasur, namun kuurungkan niat dan menanti waktu subuh.
Setelah menunaikan ibadah shalat subuh, aku pun dengan gesit naik ke kasur, menarik selimut dan tanpa pikir panjang langsung tertidur. Aku berjanji, nanti setelah aku bangun, akan kuceritakan pada Ibu segala hal mengenai perjalananku ini. Tak akan kulewati satu kejadian pun, sebab perjalanan ini berisi banyak hal. Panas-panasan, lika-liku jalanan, lautan pasir, sunset, tanjakan, kemegahan Bromo, adegan tersesat, serta yang paling istimewa adalah bagaimana perasaanku terhadap perjalanan paling mengesankan ini. Aku benar-benar berterimakasih pada Tuhan, atas segala surprise-Nya, perlindungan-Nya, serta rencana-Nya untukku yang tak terduga ini. Terimakasih Tuhan. Terimakasih.

^^19 September 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harapan

Sepotong Cerita dengan Kamu

Nonton di Bioskop