Di Balik Merantau

Ada banyak yang harus dilepas saat pergi. Begitulah memang hukum alam ini. Tiada perjumpaan tanpa berpisah. Sama halnya dengan takdir hidup dan mati. Ada hidup yang harus diakhiri dengan kematian. Semua ada masanya. Masa dimana segalanya akan berakhir. Dan pasangan awal akhir merupakan takdir mutlak yang kita dapatkan sebagai manusia. Hingga ada juga yang mengatakan bahwa kebahagiaan dan kesedihan adalah satu paket. Aku pun setuju dengan kalimat itu. Entah karena faktor kepercayaan yang membuat alam berlaku demikian, ataupun memang itu adalah kebenaran yang selalu kita tolak dalam hati.
Senangnya hidup bagiku adalah saat dimana kita mampu menjalani hidup dengan baik. Bukan saja menerima kehidupan ini, namun menyukainya juga. Ada kalanya juga kita harus menghargai diri kita sendiri, baru kemudian diri kita akan mampu menghargai kehidupan yang kita jalani. Kesenangan hidup yang aku rasakan juga memiliki esensi dimana segala hal terasa mudah dan menyenangkan – meski tak jarang kita menemui kesulitan, namun akan selalu menemui jalan pulang. Pulang kembali dalam kenyamanan hati, berdamai dengan hati. Berdamai dengan masa lalu. Menghargai kesombongan hidup, dan mengikhlaskan ke-usil-an manusia lainnya.
Akan tetapi, selalu ada saja yang membuat hati ini merasa “tak enak”. Membuatnya gelap, membiru. Sakit, yang menyedihkan. Dilema, yang mengabu. Firasat tanpa dasar. Ataupun kegagalan-kegagalan yang mengikuti kesuksesan hidup. Merasakan semua hal dalam satu waktu dan satu paket adalah sesuatu yang begitu menantang. Kau harus merasakan kehilangan yang bersanding dengan kegagalan rencana-rencana yang sudah dibangun bersama. Sungguh, itu pedih. Seperti luka lama yang kembali menganga. Seperti sulaman jahitan yang kembali robek. Sungguh pedih dalam waktu-waktu awal dimulainya kelabu itu. Sungguh dingin dalam malam-malam sepi. Tanpa sapa, tanpa kabar, tanpa canda.
Apapun tentang kamu kali ini, semua kenangan yang mengikutimu juga. Sungguh aku ingin menghapusnya. Sampai-sampai aku berniat untuk membuat lupa atas diriku. Tak ingin mengingat lagi apa-apa yang sudah ku lalui denganmu. Menjadi amnesia. Ataupun mengalami masalah ingatan seperti si Dory dalam tokoh Nemo. Memang sungguh hal paling indah adalah ketika mengenalmu. Mengagumimu, menyukaimu. Tapi mengapa begitu menyebalkan untuk masuk dalam duniamu? Ketidakpedulianmu kadang mengingatkanku dengan ‘pria’ itu. Kemulukanmu juga tak ayalnya mirip seperti ‘dia’. Dan aku pun membenci untuk merindumu.
Dalam hal patah hati ini, aku hanya ingin lari. Pergi meninggalkan segalanya. Menghindari kamu, dan segala yang aku miliki. Saat pergi, akan ada yang hilang bersama waktu. Termasuk kebersamaan dan kebiasaan. Biasa bersama rekan kerja melalui pagi dengan ‘memainkan’ laptop. Biasa mengisi perut di kantin ataupun depot-depot pinggir jalan. Biasa ‘main’ ke mall. Dan sesekali ikut berkerumun di pasar. Biasa mendahului untuk finger print ketika jam dinding menunjukkan pukul 16.01 WIB. Biasa untuk cepat-cepat menuju parkiran agar candaan mereka tentang aku dengan ‘para lelaki-lelaki’ itu tidak memanjang. Biasa menerobos jalan-jalan macet di Jembatan Ranugrati. Biasa kebut-kebut di jalanan sepi. Terbiasa bersenandung untuk melepas jenuhnya 8 jam bekerja – yang meski hanya ‘duduk-duduk’ saja. Terbiasa weekend ditemani dan menemani kamu meski hanya 1x dalam 1 bulan. Terbiasa makan dengan masakan ibu. Terbiasa memanasi motor beberapa saat sebelum berangkat kerja. Terbiasa menyiapkan diri pada pukul 05.00 WIB untuk kemudian melepas mimpi semalam. Membersihkan badan, untuk kemudian berdandan depan cermin. Begitu saja. Berputar seperti roda. Dan segalanya harus berakhir tatkala notifikasi HP-ku berbunyi dalam suasana Ramadhan’19 kali ini.
Siang itu, selepas dzuhur, aku hanya berdoa bahwa aku ingin cepat pergi. Melepas semua. Memutuskan segala yang hanya membuatku ingat. Aku ingin memulai lagi segalanya dari awal. Dan saat itu juga menginginkan informasi CPNS cepat datangnya. And see, info grup WA ramai adanya. Benar saja, itu akibat informasi terbaru dari CPNS. Sangat bersyukur, meski doaku yang terburu-buru itu membuat hatiku dihinggapi sedih. Mengapa? Karena baru saja aku merasa enjoy dengan seseorang, setelah lama rasanya patah hati ini membuatku kelu, membuatku tak berminat lagi mengenal lelaki. Ah sungguh, memang benar jika kesedihan dan kebahagiaan adalah satu paket.
Jika ini rencana terbaik Tuhan, maka merantaulah jawabannya. Jika rindu adalah suatu pengganti patah hati, maka merantau juga jalannya. Jika kamu adalah jawabannya, maka pertemuan nanti adalah suatu keputusan final bagiku. Entah kita berjodoh atau tidak, hidup ini adalah kehidupan yang aku pilih dan harus aku jalani. Sungguh pula, jika memang kamu adalah yang baik menurut Tuhan, semoga tidak akan lagi aku menemui perpisahan selain hanya temu.
Perantauan ini, benar-benar membuatku mempelajari banyak hal. Bagaimana menunggu dalam sabar itu adalah sensasi yang luar biasa. Rindu padamu juga tak kalah spesial-nya.  Nostalgia kepada kota kelahiran pun sungguh menyenangkan. Begitu pula, jika mengingat-ingat kembali betapa mendadaknya aku melakukan pengunduran diri dalam ruang kerja, mendadaknya aku dan kamu menjadi 2 manusia yang saling mengenal, kita sesekali menghabiskan waktu bersama. Menikmati dinginnya malam di Malang dengan hangatnya STMJ Pulosari. Sungguh ini mendadak yang menyenangkan. :)

^^25 Juni 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harapan

Sepotong Cerita dengan Kamu

Nonton di Bioskop