FRUSTASI.
Pagi tadi aku benar-benar disadarkan. Bagaimana
mungkin aku melangkah begitu saja tanpa memperhatikan kendaraan yang sedang
melaju dengan kecepatan (mungkin) hampir 60km/jam. Ah sungguh dalam kesedihan
yang aku pikul ini, aku sudah tidak peduli rasanya dengan hidup ini. Namun, siapa sangka suara bel kendaraan itu membuatku
langsung terkejut? Bahkan hingga merinding. Membuatku menampar berkali-kali
diriku. Bagaimana mungkin aku sebodoh ini? Bagaimana mungkin aku tidak
menghargai hidup ini? Bagaimana mungkin disaat aku acuh ini, tiba-tiba aku
merasa takut. Ya. Masih merasa takut untuk merasakan ‘mati’. Karena sungguh aku
tidak ingin mengecewakan ibuku yang berkali-kali dan selalu menyebut namaku
dalam doanya. Yang berkali-kali mendoakanku dalam kebaikan. Namun, malah aku
sendiri yang berusaha merusak hidupku. Oh ya Tuhan. Tamparlah aku. Sungguh aku
mohon sadarkanlah diriku yang begitu lemah ini. Sungguh pukullah diriku, agar
aku mengerti rasa yang benar-benar sakit. Tuhan, sungguh aku merasa tidak
berguna. Sia-sia.
Seperti dalam sebuah novel yang sudah tamat aku baca,
ada sebuah kalimat yang masih segar dalam ingatanku. “Sungguh kita tidak pernah
mengetahui apa yang akan terjadi pada detik di depan. Bisa jadi Tuhan
memberikan kebahagiaan. Kita masih bisa tertawa tanpa beban. Tapi detik
berikutnya, kita tidak pernah tau bahwa bahaya akan menimpa kita. Kita bertemu
masalah-masalah yang akan langsung menghantam kita dalam sekali”.
Tuhan, bagaimana mungkin masalah ini menyerbuku dalam
sekali. Apakah mungkin aku dapat menanggungnya? Aku tak pernah bisa
membayangkan jika aku menemui hal paling rumit dalam 22 tahunku. Aku tidak
dapat membayangkan betapa kakiku terkulai, lemas. Aku terkapar sendiri dalam
lubang kesedihan yang begitu menyayat. Oh sungguh, bahkan aku ingin kembali
kepada masa itu. Pada masa sendiri dimana aku benar-benar ‘marah’ dalam diriku.
Aku membuatnya tersiksa hingga di ujung hidup dan mati. Lalu, ku temukan
ketenangan itu. Sungguh pikiran kelam ini kembali berebut menyerangku, bahkan
hingga tumbuh dalam hati. Haruskah aku lakukan?
Hfft! Betapa sepotong hatiku menertawakan kelemahan
yang menjelma diriku. “Bodoh, mengapa kau berjanji untuk tidak melakukan
lagi?”. Aku bahkan tak mampu menjawab dan mengelaknya. Aku berada dalam titik
yang jika aku melangkah akan menemukan jurang. Namun mundur sekalipun aku akan
tenggelam. Oh Tuhan, sungguh aku butuh kamarku. Aku butuh pelukan ibu. Ingin
rasanya aku berlari menemui ibu, menangis dalam pangkuannya. Bolehkah Tuhan?:(
Komentar
Posting Komentar