Aku dan Malam

Melewati hampir 15 jam dengan mentari, terkadang sungguh melelahkan. Apalagi jika hari itu menyebalkan. Banyak kejadian-kejadian yang begitu sulit diterima logika. Menghabiskan waktu dengan rutinitas yang monoton. Ataupun hal-hal lainnya yang tidak membuat suasana hati semakin membaik. Maka, malam akan menjadi suatu waktu peristirahatan baik. Tempat merenung atas apa-apa yang telah kita lakukan. Malam akan menjadi teman baik, dalam menyaksikan curhatan kita pada Sang Kuasa. Malam akan menemani tangis kita atas suatu hal melelahkan itu.
Pernah ada hari yang membuatku ingin menyerah atas kehidupan yang sampai detik ini ku raih. Dalam penyesalan dan hati yang tak ‘karuan’ itu, angin malam terasa lebih menusuk kulit. Menggigilkan badan. Namun, kala itu tangis hanyalah suatu sesak dalam dada. Aku memilih diam membisu dibanding bercerita. Aku memilih menyesal dalam keterpurukanku daripada menghadirkan semangat. Aku tiba pada dua persimpangan angan. Dimana aku ingin pulang. Dan aku ingin berjuang!
Akan selalu ada risiko dalam 2 pilihan itu. Dan aku orang paling takut atas itu semua. Takut dengan kemungkinan-kemungkinan yang pada akhirnya membawaku pada lubang penyesalan lebih dalam dan gelap lagi. Jika aku memilih pulang, maka pada hari itu juga aku melanggar komitmen-komitmen yang telah aku buat atas jabatanku. Aku akan langsung dicap sebagai orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak professional. Dan hatiku paling keras meneriakkan : kode etikmu sebagai ASN dimana? Menyerah dengan keterbatasan? Sungguh bodoh!
Sebaliknya, jika perjuangan di tanah rantau ini harus aku lanjutkan, maka keterpurukan ini akan semakin menyakitkan. Malam-malam ini dan selanjutnya akan serasa semakin panjang. Malam-malam menyesakkan. Malam-malam dengan mimpi buruk, dan malam yang sangat menakutkan. Maka, aku akan melanjutkan hari sebagai zombie. Hidup, namun tak bernyawa.
Malam ini, sebuah pikiran yang melintas membawaku pada masa kanak-kanak yang sungguh indah. Bermain, tertawa, tak ada peraturan, tak ada tantangan. Hanya melakukan semua sesuka hati. Sungguh masa itu adalah halterindah, meki tak mampu diulang kembali. Aku sangat mengingat dengan jelas saat dimana aku haru bangun tidur tanpa beban. Aku bebas memilih makanan apapun disaat lapar. Aku dapat meminta apapun itu pada ibu. Aku boleh bermain apa saja, dan dimana saja. Aku bebas tidur siang selama apapun kantuk menggapaiku.
Oh sungguh, haruskah aku pulang? Karena secuil hatiku masing merasakan Bandung adalah indah. Aku merasa masih mencintai kota ini. Entah, meski harus menemui beberapa yang menyebalkan, namun aku menyukai kota ini. Menikmati sejuknya, mencicipi nikmat makanannya, mengenal orangnya, belajar budayanya, dan kesibukan kota ini. Aku masih ingin mengukir kisah lainnya di kota ini. Meski akan lebih menyenangkan jika bersamamu, namun sendiri pun tak masalah. Asal kamu masih di hati.
Harapanku, suatu saat nanti kamu masih bersamaku. Dan berkesempatan mencipta kenang di kota ini. Percayalah, kota ini masih menyembunyikan banyak keelokannya untuk kita daripada kota kelahiran kita. Aku harap kita tak menemui kebosanan barang sedetik pun. Dan suatu saat kita bisa mengukir cerita panjang di kota ini. Berjuang dan berproses bersama dalam rantauan. Hingga akhirnya kebersamaan itu akan menemukan jalan pulangnya. Suatu muara yang menakjubkan. Yang memmbuat kita tak akan menemui kesulitan dalam jarak dan waktu. Semoga..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harapan

Sepotong Cerita dengan Kamu

Nonton di Bioskop