Patah!
Kala itu, siang. Tapi langit sepertinya sedang berselimut awan, mendung. Kelabu. Aku dan kau berada pada sebuah tempat, seperti rumah. Takut-takut kau beranikan dirimu memulai sebuah kisah pilu. Kau bilang, saat kau mencintai seseorang maka cinta itu akan bertengger lama pada hatimu. Tidak akan mudah luntur. Hari-hari berlalu begitu indah. Tawa selalu menghiasi harimu. Meski kau tahu, kau dan dia bukanlah manusia yang saling memiliki kesempurnaan. Tetapi memilikinya membuatmu sempurna. Lalu cerita beranjak pada sebuah lara tatkala kekasihmu telah menggapai bintang bersama tangan yang lain. Bukan dirimu. Kau mengeluh, hatimu marah dan kecewa. Bagaimana mungkin kisah yang kau rajut bertahun-tahun kandas pada sebuah tepi sebelum penghujung asmara tiba. Memang bahagia dan sedih sering datang silih berganti pada hidup. Meski mereka berjalan tak beriringan, tapi yang pasti mereka menghampiri siapapun pemilik kisah hidup. Tak terkecuali kau dan dia.
Detik itu, air matamu tumpah. Suaramu bergetar melanjutkan cerita. Betapa nelangsa-nya hatimu yang menangis. Nahas, cinta yang kau pupuk telah tumbuh bersemi dimiliki orang lain. Mekar pada hati yang baru. Sekali lagi, kau tergugu menceritakan kenangan itu padaku.
Banyak harap yang kau inginkan padaku, setelah trauma-trauma mengerikan akan cinta yang menghiasi cerita hidupmu. Harap sebagai obat untuk luka yang membekas pada hatimu. Mulutku membisu, diiringi mataku meloloskan air yang sama derasnya dengan air matamu. Aku mengelus dada, seraya membatin. Bersumpah akan menciptakan bahagia untukmu. Bersumpah untuk mengubur kenangan itu dengan rajut kebersamaan yang kita miliki.
Setelah hari itu, kau kembali pada hidupmu dan aku kembali pada hidupku. Aku sibuk dengan hariku, pun denganmu. Kita saling berjuang, meski terpaut jarak yang bukanlah dekat. Bagai barat dengan timur.
Pada penantian tanpa temu ini, ada sebuah gelagat takdir yang membawa pesan sendu. Ia menuntun tawa dan lara hadir berdampingan. Ada sebuah badai yang menghancurkan harapan. Malam itu, kau berkata "terpaksa" memilih mundur dariku. Mengakhiri sebuah rasa ini tanpa pernah kau berikan aku kesempatan bertanya. Katamu, rasa itu telah terkikis waktu. Ucapmu, kau memiliki harapan baru. Seketika, kepalaku berputar. Mengingat-ingat jika (mungkin) ada kesalahan yang tanpa sadar aku lakukan. Tapi, aku tak menemukan apapun. Selain tawamu.
Cerita yang sempat kita tulis bersama, menguar di sela-sela kehampaan. Lalu batinku berbisik: "Apakah kamu se-benar ucapanmu dahulu? Atas sebuah rasa yang kau tanamkan pada hatiku, lantas apakah kau sekarang seolah berperan sebagai dia yang pernah menjadi belati untuk luka di hatimu? Mengapa, mengapa kau se-tega itu membagi cinta padahal rasa ini utuh untukmu? Apalah arti perjuangan ini jika kau, bahkan menaruh dia dalam kisah kita ? Bagaimana mungkin aku berjuang, sementara hanya akulah yang tertikam dalam medan juang ini? Se-haus itukah kau dengan cinta? Se-serakah itukah kau menginginkan cinta? Bagaimana mungkin kau sejahat itu telah mempermainkan hati yang begitu berharga dan paling aku jaga hingga detik ini? Oh sungguh, kau adalah pecundang!
Keren kalimatnya ciq. Ku mau nangis juga jadinya.
BalasHapuswkwk masih belum sekeren cerita yg kamu tulis ce :')
Hapus