A Piece of Mind
Ya Tuhan, aku menangis setiap kali aku mengingat harus pergi meninggalkan kota kelahiranku. Aku tergugu tiap kali mengingat, betapa aku sangat egois telah meninggalkan tempat kerjaku pertama. Yang merupakan tempat pertamaku kerja dengan usahaku sendiri. Tanpa kenalan. Tanpa rekomendasi. Aku melalui seluruh tes dengan hasil payahku sendiri. Aku sedih setiap kali ingatanku tentang wajah rekan-rekan kerjaku kembali membayang dengan sangat jelas pada ingatanku. Air mataku selalu mengalir deras mengingat segala kebersamaan yang diciptakan. Meski belum genap 1 tahun, namun rasanya sudah mengenal mereka begitu lama. Aku memaki sambil menangis tatkala kenangan singkat kita juga muncul. Sungguh Tuhan, tidak mengapa. Ucapku berkali-kali. Namun hati terkadang menolak setuju dengan bibir ini. Hatiku berteriak mengucap lelah, dan lelah. Hingga rasanya telinga ini berdengung. Tidak dapat mendengar apapun selain kata pulang. Entah kemana dan kepada siapa aku pulang? Aku bertanya pada hati. Tidak ada jawaban. Sepi. Namun batinku selalu saja bergumam mengajakku pulang.
Memang disaat kita benar-benar sendiri, selalu saja mudah mengundang sedih. Suatu perasaan istimewa yang selalu membuat kita sadar. Bahwa segalanya adalah sebuah titipan. Pun dengan diri kita sendiri. Sedih akan membawa kita berpikir kembali melalui logika-logika. Sedih akan mengajarkan kita bersyukur. Tapi, anehnya. Sedih juga memperkenalkan kita pada sebuah jurang yang lebih gelap lagi. Feeling nothing. Yupz, sedih bisa mengundang tawa ketika kita mengetahui bahwa keputusan kita benar. Tapi sekali kita membenarkan bahwa langkah kita salah, diri kita akan 'meledak'. Berkali-kali bisikan akan menuntun kita mengakhiri hidup. Bahkan lebih parah, kita percaya diri kita mati. Padahal kita masih bernapas. Kita merasa seolah-olah semua sudah berakhir, padahal kita baru mengenal awal kehidupan baru. Menjadi gila. Menertawakan apapun yang membisu. Diam dan merasa tersudut saat menemukan tawa.
Komentar
Posting Komentar