Kampung, Hutan, dan Kamu.
Suatu saat
itu, langit menampakkan mendungnya. Hanya sedikit cahaya yang ku lihat. Suasananya
nampak seperti ruangan dalam sebuah rumah di perkampungan. Ada lampu namun
mungkin hanya 5 watt saja. Redupnya sedikit membuat merinding. Tampaknya juga
rumah ini ada dalam sebuah hutan. Meski begitu, rumah ini termasuk ke dalam
salah satu rumah dalam suatu perkampungan. Rumah-rumah dalam perkampungan ini
terasa sepi, meski ada banyak orang berlalu lalang di depanku. Lalu, kemudian
aku memperhatikan ruangan di sekitarku. Ada banyak ruang kosong dalam rumah
ini. Aku menjelajah satu per satu ruangan itu, pelan-pelan saja langkahku. Ruangan
pertama nampak seperti sebuah kamar. Namun telah lama ditinggal pemiliknya. Hanya
menyisakan kasur tua, dan tanpa sprei. Kamar ini memiliki satu lubang sirkulasi udara yang menjadi sumber cahaya. Tapi
cahayanya hanya segaris, masih tak mampu menerangi seisi kamar.
Lalu, aku
beranjak menyusuri ruangan berikutnya. Aku juga menemukan kamar. Masih dengan
kondisi yang sama dengan sebelumnya. Ruangan berikutnya, juga sama. Kamar. Tapi
kali ini, entah darimana asalnya, aku disambut dengan seseorang. Orang tersebut
sepertinya adalah penjaga ruangan ini, kata hatiku. Orang tersebut adalah seorang
ibu berumur 50an. Ada uban di rambutnya. Tingginya hanya sebahu-ku. Dan rambutnya
selalu digulung seperti ibu-ibu jaman dahulu. Dipersilahkannya aku masuk,
membiarkanku juga memperhatikan senti demi senti setiap detail dalam kamar
ketiga itu. Gelapnya masih sama saja. Temboknya berwarna putih, tapi sepertinya
karena sudah lama tidak di cat ulang, warnanya berubah sedikit kekuningan. Pada
lubang sirkulasi udara, ada gorden cokelat tua yang menutupinya. Ketika hendak
menyibaknya, tiba-tiba seseorang memanggilku. Entah siapa. Kemudian aku
berhambur keluar. Menghadap seseorang, yang sepertinya tetua di kampung ini.
Saat aku
duduk menghadap tetua itu, aku
melihat seseorang yang sepertinya sangat aku kenal. Dia masih memunggungiku. Lelaki
ini seperti sedang di sidang, karena ia dikelilingi oleh semacam prajurit. Aku masih
menerka-nerka siapakah gerangan lelaki itu? Baru saat aku maju, melihat
wajahnya, itu adalah kamu. Sontak saja mulutku memanggilmu, “Mas.”, kataku. Kamu
menoleh padaku, tapi tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutmu. Lalu tetua itu menampilkan sesuatu padaku. Aku
melihat dinding di belakang tetua berubah
menjadi layar yang menampilkan suatu adegan, dimana kamu ada di dalamnya. Diputar
beberapa potongan cerita, yang menampilkan kamu dengan wanita-wanita di kampung
itu. Aku tidak begitu tertarik dengan adegan itu. Tapi yang aku tangkap, adegan
itu adalah sebuah kesalahan fatal yang telah kamu lakukan selama beberapa waktu
ke belakang kemarin. Kamu menunduk di depanku, saat semua orang dalam ruangan
itu menyalahkanmu. Sungguh aku tidak tega melihat wajah sedihmu. Spontan, aku
memelukmu. Dan aku katakan : “Tak apa-apa, Mas. Sungguh tidak apa. Jangan bersedih.
Sebentar lagi kita pulang dari sini”.
Sebelum ruangan
itu semakin memanas, ku bisikkan dengan pelan padamu, agar seisi ruangan tidak
mengetahui rencana kabur kita. Lalu, saat timing
tepat, ku genggam tanganmu, lalu ku ajak berlari. Kita menyusuri
jalanan-jalanan hutan nan gelap, bersama. Aku sudah tidak peduli bagaimana
akar-akar pohon membuat kakiku berdarah ataupun lebam. Yang ada dalam otakku,
bagaimana aku membawa kita keluar dari perkampungan ini. Sungguh ada banyak
orang yang mengejarmu. Mereka seakan-akan ingin menangkapmu, bagaimanapun
caranya. Karena orang-orang itu hanya melihat padamu. Sungguh pada saat itu aku
ingin menjadi tameng yang melindungimu. Namun tak bisa. Bahkan orang-orang itu
tidak melirikku barang satu detik saja. Mata-mata itu hanya melihat ke arahmu.
Sangat tajam. Dan pada saat yang sama kamu pun ketakutan.
Di penghujung
jalan, kita menemukan sebuah kendaraan. Tapi takut-takut untuk mencobanya. Apakah
kendaraan itu membawa kita pada rumah, ataukah membawa kita kembali pada
serbuan itu. Baru saja hendak menaikinya, tiba-tiba ada suara keras yang
mendengung dan mengganggu telinga ku. Berulang-ulang. Dan perlahan adegan ini
menghilang. Begitu pula dengan kamu. Aku pun sadar, bahwa itu adalah alarm yang
sengaja aku aktifkan. Ku kedipkan mataku satu kali, dua kali, namun masih saja
detak jantung ini terasa lebih kencang dari biasanya. Perlahan ku ingat-ingat
apa yang terjadi. Namun, yang masih teringat sangat jelas dan yang paling aku
yakini adalah, saat-saat dimana aku hendak tidur. Aku sangat ingat jika aku
telah berdoa dengan doa lengkap versiku. Lalu, apakah ada pesan tersirat dari
mimpi tersebut? Ataukah hanya sebuah ‘bunga’ tidur semata?.
Komentar
Posting Komentar