“Bumi Manusia” dalam Pandanganku


Suatu sore itu aku memutuskan untuk menyimak sebuah film yang diangkat dari sebuah novel Pramoedya A.T. yang berjudul “Bumi Manusia”. Film itu menceritakan mengenai warga pribumi Indonesia pada jaman dahulu, masih dalam jajahan bangsa Eropa (Belanda). Sungguh miris memang melihat kesombongan bangsa lain pada tanah air kita ini. Mereka begitu berkuasa atas negeri yang bukan milik mereka sendiri. Aku menyoroti bagaimana perbudakan sangat kental dalam film ini. Begitu lemahnya penduduk Indonesia dalam hal ini. Tiada daya protes, atau bahkan melawan. Kita semua tunduk. Sungguh miris bukan negeri ini? Penduduknya memiliki kekayaan alam yang luar biasa namun tak memiliki kuasa dan berhak menjadi raja di negeri sendiri.

Namun, bukan sastra namanya jika romansa ini tak dibumbui sebuah cerita cinta. Selain merekam Indonesia pada jaman dahulu, Bumi Manusia ini juga menampilkan kisah sepasang muda mudi yang saling jatuh cinta. Namun mereka berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda. Tokoh utama laki-laki dalam film ini diceritakan berasal dari keluarga pejabat (Bupati) dan orang tua nya tersebut adalah penduduk asli Indonesia. Dan mereka orang Jawa asli. Hal ini sangat nampak pada cara berbicara, logat, budaya sopan-santun, bahasa, pakaian, dan nama mereka. Sedang tokoh wanita nya, keturunan blaster-an. Ibunya asli pribumi, Jawa. Ayahnya adalah seorang bule Belanda.

Cerita dalam Bumi Manusia ini tidak sesederhana yang dibayangkan. Ada beberapa permasalahan, konflik dan kerumitan hidup yang dipertontonkan. Mulai dari tiadanya perkawainan sah antara orang tua si Ann (panggilan bagi tokoh wanita). Masa lalu Ibu Ann yang menyakitkan. Diceritakan bahwa dahulu ayah dari Ibu Ann menjual dirinya kepada seorang laki-laki Belanda (yang sekarang menjadi Ayah Ann). Namun meski benih-benih cinta tumbuh, pada akhirnya ada saja badai yang datang dalam kehidupan mereka. Ketika seorang anak pertama, buah cinta Ayah Ann dengan istri pertamanya datang pada rumah mereka. Pada saat itu, tiada lagi kedamaian yang hadir dalam rumah itu. Ayah Ann memilih menjadi pemabuk, pemarah, suka gonta-ganti teman tidur, membenci, dan merendahkan pribumi.

Tidak hanya berhenti pada orang tua Ann, Robert-kakak Ann, yang juga sangat sombong dan membenci pribumi juga turut menghidupkan film ini. Robert mewarisi watak dari ayahnya. Sangat kasar, pemarah, bahkan tidak menghormati Ibunya. Si Robert juga diketahui sangat keji hingga memperkosa adiknya sendiri. Sungguh rumah tangga tersebut kacau dan miris, meski jika dari luar tampak baik-baik saja dan harmonis. Meski mereka memiliki ribuan hektar perkebunan, danau, hingga hewan ternak, namun itu tiada guna jika kenyamanan dan kehangatan tidak hadir di tengah-tengah mereka.

Pada tokoh lelaki, yang dipanggil Minke, juga memiliki konflik tersendiri. Dimana Minke memiliki suatu semangat dan ambisius menjadi free man. Dalam hal ini Minke menginginkan negaranya bebas. Menuntut kesetaraan, keadilan dalam segala sisi kehidupan manusia. Tanpa diperintah, maupun memerintah. Minke juga ingin membuktikan, meski pribumi, ia juga tidak kalah dengan warga asing. Dan perjuangan mewujudkan mimpi itu sungguh tidak mudah. Di tengah-tengah tunduknya keluarga Minke pada para Belanda. Lingkungan yang ke barat-baratan. Bahkan keterasingan/diskriminansi oleh anak-anak asing itu pada warga pribumi di sekolah.

Namun, melirik Minke, aku jadi menyoroti sisi jurnalistik negeri ini. Dunia jurnalistik negeri ini sungguh buruk. Bagaimana mungkin kode etik pers (salah satunya independen) tidak hadir pada jurnalistik Indonesia. Pada film tersebut secara tersirat diperlihatkan bahwa media masa tidak mampu dipercaya. Sebab media tersebut dapat dimiliki oleh sekelompok orang. Media tersebut mem-publish berita hanya dari satu sudut pandang. Alhasil, ‘debat kusir’ melalui koran sudah menjadi makanan sehari-hari warga. Tiada fakta riil yang didapat jika hanya menelan mentah-mentah berita di 1 koran saja.

Apakah hal ini hanya soal buruk? Justru sisi positif yang dapat diambil adalah tulisan itu sendiri. Bagaimana mungkin kekuatan ‘menulis’ bahkan dapat memengaruhi seluruh orang dalam suatu negeri. Aku sangat mengagumi itu. Menulis. Itu berarti kita melawan hanya dengan bermodalkan huruf. Menulis, itu berarti salah satu cara paling ampuh ketika suara tidak lagi didengar. Pepatah juga mengatakan “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” ― Pramoedya Ananta Toer, House of Glass. (Maka adakah dari kamu yang juga tertarik menulis?).

Beranjak dari kekagumanku akan hebatnya menulis, aku perlu memberitahu kalian mengenai kisah cinta memilukan yang aku petik dari film ini. Bagaimana mungkin cinta itu tentang tangis dan sengsara. Bagaimana mungkin cinta itu melemahkan dan menyakitkan salah satunya? Sungguh aku masih belum benar-benar paham akan definisi cinta itu. Aku melihat bagaimana nelangsa-nya si Ann saat merindu. Bagaimana cinta membuat si Minke begitu berani melewati batas. Bagaimana cinta membuat keduanya candu. Bagaimana cinta membuat mereka tertekan. Tapi di sisi lain, aku bahkan melihat luar biasanya cinta jika sudah tumbuh di hati manusia. Cinta mampu membuat kita berkorban. Bagaimana mungkin Minke mengorbankan waktu dan tenaganya menemani Ann. Selalu berada di samping Ann meski harus meninggalkan sekolah dan rumah. Begitu pula dengan Ann, yang justru mengorbankan cinta itu sendiri agar Minke dan Ibunya tidak lagi ‘disakiti’. Namun, cinta itu juga menguatkan. Bagaimana mungkin mereka mampu bertahan di saat semua orang mencerca, memaki, dan meninggalkan mereka. Dan bagaimana mungkin cinta itu adalah obat hati. Disaat tiada lagi resep dokter yang menyembuhkan, justru atas dasar cinta perlahan Ann mulai sembuh dari sakitnya? Sungguh. Cinta itu ambigu dan membingungkan.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harapan

Sepotong Cerita dengan Kamu

Nonton di Bioskop