Monev Kedua : Tangerang


Jika berbicara tentang Monev, maka bahasannya tidak akan jauh-jauh dari kunjungan pada PTS, compare data dengan milik PTS, dan ya tentunya oleh-oleh donk. Hehe.

Monev kali ini lebih rame. Kenapa? Karena kami terdiri dari 5 orang. Anggota utama Monev ada 4 orang, seorang lagi adalah sopir. Wah aku tidak membayangkan bagaimana menampung oleh-oleh dari PTS, mengingat kemarin saja ada puluhan kardus yang kami angkut dari Cirebon ke Bandung. Tapi ya sudahlah, karena mereka pun santai, aku pun juga ikutan santai.

Dalam perjalanan dari Bandung, suasana di mobil terasa sepi. Aku sampai mengantuk berat. Tapi suguhan pemandangan di sisi jalan tol membuatku tak ingin menutup mata barang satu detik saja. Hanya satu-dua kali saja bapak dan ibu senior ini mengajak aku berhaha-hihi. Selebihnya mungkin komentar-komentar singkat saja. Membosankan sih memang, tapi ya mau gimana lagi? Tim sudah ditentukan, dan kita tidak bisa seenaknya gonta-ganti tim.

Sebelum memasuki Tangerang, kami mampir dulu di salah satu tempat makan pada rest area. Aku lupa tepatnya di km ke berapa. Saat memasuki tempat makan, aku menoleh pada bagian jendela. Disana terdapat 3 orang anak-anak yang sedang bermain jungkat-jungkit dan kursi putar *ah entahlah namanya apa, intinya tempat duduknya bisa diputar-putar. Melihat mereka bermain dan tertawa, membuatku flashback pada masa kecil. Dulu juga sering banget aku tiap sore pergi ke taman, cuma buat nyobain jungkat-jungkit ataupun menemani adik kecilku jalan mengitari taman. Dulu sama bapak juga selalu boncengan bertiga. Selain ke taman, kami menghabiskan waktu juga untuk jalan-jalan. Yupz, hanya jalan-jalan. Tidak ada tempat yang dituju selain menikmati jalanan Mataram. Tapi, terkadang kami pun pergi menonton motor cross. Aku suka melihatnya. Karena ada sensasi deg-deg-an saat pengendara itu melawati lekuk-lekuk tanah. Ah itu sudah 13 tahun yang lalu. Dan rasanya tetap ingin kembali menjadi kanak-kanak. Entah, ada sesuatu hal yang menyenangkan ketika kita belum benar-benar tahu tentang hidup ini. Selain bermain dan tertawa :’)

Seusai makan, perjalanan kami lanjutkan kembali. Berbeda dengan Cirebon, tol menuju Tangerang ini selalu penuh. Ah, Jabodetabek memang kota yang sesak dan paling sibuk di negeri ini. Selama perjalanan menuju tempat tujuan, aku bisa melihat di kiri-kanan ku adalah gedung-gedung pencakar langit. Aku juga melihat gedung favoritnya anak STAN dan anak Keuangan. Apalagi kalau bukan Gedung Kementerian Keuangan. Aku juga melihat Gedung BPK dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dulu, 2 diantaranya (Kemenkeu dan DJP) juga teramat aku favoritkan sebelumnya semuanya pudar begitu saja karena konon katanya, yang bisa masuk situ hanya anak lulusan STAN. Apalah daya aku yang lulusan SMk, swasta pula. Hfft ~

Sekitar 6 jam perjalanan, akhirnya kami tiba pada gerbang PTS yang pertama kali akan kami tuju. Sungguh udara kota ini begitu panas. Barulah ketika memasuki ruangan utama Pimpinan, hawa dingin mulai mengeringkan tetesan-tetesan keringat ini.

Adalah hal yang wajar jika Monev ini diawali dengan ‘basa-basi’ dahulu. Bercerita ngalor-ngidul. Tapi  yang tidak aku sangka adalah, Pimpinan tersebut awalnya tidak mengetahui jika aku adalah orang Jawa. Memang sih kebanyakan orang yang bertemu denganku, tidak akan menyangka jika aku adalah wong Jowo. Dan malah aku berhasil ‘menipu’ mata mereka, karena sebagian besar orang menyangka aku adalah moja Bandung ^^. Termasuk dengan Pimpinan PTS ini, kaget ketika mengetahui darimana asalku. Tetapi sialnya pertanyaan selanjutnya bikin speechless sih. “Sudah berkeluarga?”, katanya. Ah, menemukan pasangan aja belum, batinku. Mereka lalu asal saja menjodoh-jodohkanku. Hm, padahal aku gak ingin buru-buru juga. Masih ingin menata hati dan kehidupan saja, ehehe..

PTS-PTS yang kami kunjungi saat ini tidak ‘se-besar’ PTS-PTS yang aku kunjungi sebelumnya di Cirebon. Tetapi aku bersyukur, karena oleh-olehnya pun jadi sedikit. Sebab aku bingung ingin berbagi oleh-oleh ini kepada siapa lagi selain teman kos, ibu kos, dan rekan kerja.

Kali ini aku tidak sendiri tidur di hotel. Sebab ada Bu Setyo yang menemani. Niat hati, setelah mandi, ingin segera merebahkan tubuh pada kasur. Tapi sayangnya, malah Bu Setyo cerita panjang lebar mengenai masa lalunya. Bercerita bagaimana beliau awalnya bekerja di kantor. Lalu kemudian bagaimana budaya yang didapat saat pertama kali bekerja hingga kini. Bagaimana mengenai sisi ‘rumit’nya sistem kerja disini. Dan benar saja, memang kantor ini begitu susah untuk di-adaptasi. Rumit untuk dibaur. Sangat tidak mudah untuk ditaklukkan.

Bersama seorang ibu dan 3 orang bapak-bapak ini selama 3 hari 2 malam, membuatku sedikit tidaknya mengetahui karakter masing-masing. Bu Setyo yang selalu ‘riweh’ soal laporan Monev dan cerewet soal ‘oleh-oleh’ yang sedikit, Pak Yuhan yang selalu  cuek terhadap PTS tapi tetap punya selera guyon yang baik. Pak Tete yang sabar, suka melucu, dan paling tidak ingin kehilangan pulpennya untuk ttd. Haha^^. Serta Pak Dani yang pasrah terhadap tim kami yang suka mis soal PTS mana yang harus didahulukan. Tapi asyik juga kadang bercanda dengan bapak-bapak ini. Aku juga belajar sedikit-sedikit Bahasa Sunda dari beliau-beliau ini.

Di akhir kegiatan ketika hendak pulang ke Bandung, kami tak lagi pulang berlima, melainkan hanya berempat. Sebab Bu Endang tidak ikut pulang ke Bandung. Beliau mampir ke rumah anaknya yang di Tangerang, karena memang di weekendnya beliau diundang untuk wisuda. Lupa kampus mana, hanya saja berada di Tangerang juga dah. Kami juga sempat masuk ke rumah anak Bu Endang. Rumahnya seperti perumahan, tapi cukup simple. Hanya saja aku kurang suka tata letaknya. Ada beberapa ruangan yang boros, seperti ruang tamu misalnya. Terlalu luas, padahal hanya diisi beberapa perabot. Dan itu menghabiskan banyak tempat. Ah, mengapa aku berkomentar? Setidaknya ini bisa jadi referensi untuk memilih rumah di masa depan. Ehee :D. Selama di rumah anak Bu Endang kami disuguhkan teh dan siomay. Hanya saja perutku sudah terlanjur penuh, jadi hanya makan 1 biji saja. Tehnya pun tidak ku tandaskan.

Perjalanan pulang cukup santai. Sebab ada banyak waktu yang kami miliki, jadi tidak harus buru-buru. Kami juga sempat mampir ke salah satu rest area. Lalu nongkrong sebentar, minum kopi. Tapi sialnya, karena kena senggol tangan sendiri, kopi yang ku pesan tumpah di setengah gelas. Hfft. Setelah puas ngobrol, lalu kami melanjutkan perjalanan. Ada banyak sisa roti dan buah, oleh-oleh yang dibekalkan PTS. Sayangnya, aku sudah gak kolu, sebab kantuk mulai menyerang. Beberapa kali aku seliut-seliut, entah apakah Pak Dani memperhatikan atau tidak. But, I don’t care, sudah ngantuk pula.

Memasuki Bandung, langit mulai kelabu. Rinai hujan mulai turun satu per satu. Tumpah ketika berada di daerah Kabupaten Bandung Barat. Namun anehnya, memasuki Kota Bandung, rintik hujan mulai mereda. Ah, padahal bisa menikmati hujan dalam perjalanan sungguh indah dan menenangkan. Tapi sepertinya, langit kabupaten dan kota di Bandung ini memiliki sekat. Sehingga hujan pun tertahan di satu tempat saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harapan

Sepotong Cerita dengan Kamu

Nonton di Bioskop