CATATAN MONEV CIREBON 3 : Kesan Menuju Pulang
Hari
kemarin, aku dan tim berhasil menyelesaikan Monev kepada 4 PTS. Oke, kurang 2
PTS lagi sebelum Monev ini berakhir. Tidak seperti kemarin, dimana kami harus
berangkat pagi-pagi karena mengejar waktu, kami santai saja menghabiskan
sarapan untuk kemudian melanjutkan Monev pada pukul 09.00 WIB. Dalam mobil
kami, sudah banyak sekali tumpukan kertas yang merupakan dokumen-dokumen PTS
yang akan kami arsipkan. Tidak hanya itu, oleh-oleh untuk kami bawa pulang ke Bandung
juga sudah penuh di bagasi. Belum lagi ditambah barang-barang kami, karena
memang selesai Monev kami langsung balik ke Bandung. Bersyukurnya, anggota tim
kami terdiri dari 3 orang saja. Tidak terbayang jika ada sopir, maka akan
ditaruh dimana kertas, tas pribadi dan oleh-oleh ini. Karena bertiga saja sudah
terasa sesak.
Kampus
pertama di hari ke-2 ini sungguh menarik bangunannya. Perpaduan warna merah,
biru, kuning, menyatu begitu indah. That’s
I keep the building in my camera phone.
Pertama
menginjakkan kaki menuju ruang rektorat, suasana masih tidak begitu sibuk.
Sepertinya aktivitas baru akan dimulai beberapa jam lagi, melihat para office boy juga masih bersih-bersih
lantai kala itu. Aku dipersilahkan duduk di sebuah sofa pada ruang tamu
rektorat. Hawa Cirebon lagi panas-panasnya ketika itu. Sembari menunggu para
‘pejabat’ kampus, aku coba menilik HP-ku. Aku cermati beberapa chat yang tampil, namun tiada hal urgent yang harus aku tanggapi. Aku lalu
memasukkan kembali HP pada saku celana.
Beberapa
menit kemudian kami disambut oleh bapak-bapak, yang belakangan aku tahu, beliau
adalah Ketua Akademik pada kampus ini. Sebelum Monev dimulai, lama kami
berbincang-bincang. Beliau menceritakan banyak hal. Mulai dari perjalanan karir
hingga beliau akhirnya memutuskan untuk tinnggal di Cirebon. Jika aku tak salah
mengingat, beliau adalah orang asli Cirebon, namun mengadu nasib pada dunia
metropolitan, Jakarta. Beliau saat itu memegang posisi sebagai Ketua SDM dalam
suatu perusahaan. Lalu kemudian nasib membawa beliau merantau lebih jauh lagi,
Kalimantan. Cukup lama beliau disana, hampir belasan tahun. Beliau bertaruh
merantau jauh untuk membiayai sekolah adik-adiknya sekaligus menjadi kepala
keluarga selepas ayah beliau meninggal. Itu adalah hal paling menantang kata
beliau. Kemudian aku membatin : memang benar. Apapun mengenai perantauan memang
menantang setiap perantaunya. Berat memang, tapi justru itulah hal paling
berkesannya. Bagaimana kita harus selalu kuat, seberapapun lemahnya jiwa dan raga
ini. Kita menjalin pertemanan sebagai pengganti sanak saudara. Kita harus
menahan ego, demi kepentingan banyak orang. Kita harus sedikit menekan nafsu,
demi terwujudnya harapan keluarga. Sungguh berat, tapi juga nikmat saat
menerimanya. Karena ada satu hal paling berharga yang tidak pernah kita
dapatkan dalam kampung halaman kita. Pengalaman. Sungguh itu benar-benar berharga.
Tiada rupiah pun yang mampu menggantikannya.
Kembali
lagi pada cerita si Bapak – ah, aku lupa namanya. Selama bekerja, beliau juga
sering diberikan dinas luar. Tak tanggung-tanggung, terkadang 1 minggu beliau
harus ke luar kota bahkan luar pulau untuk mengawasi proyek perusahaan. Karena
beliau sebagai kunci dalam menjamin kualitas para pegawai perusahaan tersebut. Aku
membayangkan, betapa tangguhnya bapak ini. Aku saja dinas luar kota hanya 3
hari serasa sudah tak berdaya ketika kembali ke kos.
Lalu
kemudian, memang fitrah manusia ingin melepas masa lajangnya ketika sudah mapan
dan merasa siap. Namun, anehnya beliau menginginkan menikahi wanita Cirebon
sebagai teman hidupnya. Beruntungnya, beliau bertemu dengan seseorang yang kepadanya
beliau mempercayakan cinta, ketika beliau ‘berkeliling Indonesia’ itu. Akhirnya
beliau menikah dan hidup di Kalimantan. Sempat ada pro-kontra dengan orang tua
sang istri perkara ikut suami merantau ke Kalimantan. Namun, dengan pengertian
yang mendalam akhirnya orang tua sang istri mempercayakan anak perempuannya
untuk ikut bersama suami ke Kalimantan. Beberapa bulan, keadaan memang
baik-baik saja. Namun, setelahnya kabar sakit dari Ibu sang istri terdengar
juga oleh pasangan ini. Beliau meyakinkan sang istri, bahwa untuk tetap kuat
dan tegar. Hingga akhirnya, kematian Ibu ini membuat beliau berpikir ulang
untuk tetap melanjutkan hidup di Kalimantan. Dengan perasaan bersalah, beliau
akhirnya mengajak sang istri ke tanah kelahiran mereka, Cirebon. Beliau
mengajukan mutasi dan sungguh keajaiban Tuhan, hal itu diperbolehkan. Bahkan,
ketika memasuki masa pensiun pun dan kemudian menjabat di kampus ini, maka tak
diragukan lagi, nasib bapak ini sangat beruntung. Tapi itu memang harga yang
pantas atas semua perjuangan dan pengorbanan yang beliau lakukan. Aku saja
sampai terharu mendengarnya :’)
Selepas
cerita, kegiatan Monev kami mulai mengingat semua staf yang dibutuhkan sudah
tiba seluruhnya. Monev dilakukan seperti biasa. Namun karena Pak Naufal lupa
membawa charger laptop, alhasil aku
mencoba mencatat ‘hasil’ nya di HP saja. Untuk kemudian aku salin ke laptopku
yang dipakai Pak Naufal dalam ‘mengulik’ data-data pada kampus ini. Setelah
berita acara Monev, dan dokumen lainnya siap diarsipkan, kami memutuskan undur
diri kepada pihak kampus. Sungguh berterima kasih, karena lagi-lagi kami ditipi
oleh-oleh dari kampus ini. Tidak terbayangkan bagaimana kondisi bagasi mobil
kami :’)
Tepat
adzan dzuhur berkumandang, kami melanjutkan perjalanan ke kampus terakhir. Kegiatan
Monev tidak jauh berbeda dari Monev-monev sebelumnya. Tapi yang menarik,
kedatangan kami diapresiasi dengan memajang spanduk dengan nama kami terpampang
di dalamnya. Sedihnya, namaku tidak tercantum, huhu. Hal ini dikarenakan memang
tim ini bukanlah tim-ku yang sebenarnya. Ada ‘pertukaran’ anggota diantara kami
– para pegawai baru, mengingat salah satu teman kami ternyata dipanggil unuk
prajabatan di tengah kegiatan Monev. But,
it’s oke cause that isn’t important. The most valuable thing is about many
experiences and knowledges which I get with this team ^^.
Selama
perjalanan pulang dari Cirebon ini, aku mengingat banyak kejadian. Tak
terkecuali drama mati lampu di kamar hotelku. Ihh, sungguh menyebalkan dan
menakutkan!. Bagaimana tidak? Saat itu, kami selesai melakukan Monev di hari
pertama, lelah bercampur kantuk sungguh membuat diri ini ingin segera menikmati
tidur setelah mebersihkan diri. Eh lha
kok baru aja masuk kamar mandi, lagi enak-enaknya membikin busa-busa sabun, seketika lampu mati. Ah, sial!, batinku.
Gelap semua. Tanpa ada setitik cahaya pun. Otakku langsung berpikir cepat,
mencari-cari benda yang dapat mengeluarkan cahaya. Aku lari keluar kamar mandi,
dan merogoh tasku. Beruntung, aku masih ingat posisi aku menaruh tas, berikut
tata letak hotel ini. Aku dengan cepat menemukan ponselku, lantas meng-klik tombol senter. Aku check kembali posisi card key dari hotel ini. Tidak ada yang
salah. Kemudian, aku coba cabut lalu aku taruh lagi di tempat semula.
Alhamdulillah, lampu nyala kembali. Sungguh, ‘ucapan selamat datang’ dari hotel
ini dan pada kamar nomor 205 ini : TIDAK LUCU! Entah karena aku yang kelewat
takut dan parno, karena memang kamar se-gede
itu aku tempati sendiri, aku mencoba sebisa mungkin mengabaikan kejadian
ini. Segera melupakannya. Takut jika pikiran-pikiran horror menakuti diriku
sendiri. Ingin ku adukan masalah ini kepada tim dan pihak hotel, namun tidak
ada tanda-tanda bahwa Pak Naufal dan Pak Sobri ini mengalami hal serupa
denganku. Akhirnya ku urungkan niat. Dan biarlah menjadi ceritaku sendiri.
Sore
hari melewati jalanan tol, kurang afdol rasanya
jika tidak mengabadikan segala keindahan alam dalam kamera. Aku berusaha
mencari-cari timing yang tepat untuk
memotret. Karena selain mobil melaju cepat, Pak Naufal dan Pak Sobri selalu
mengajak berbincang. Tidak banyak sih yang aku potret, namun beberapa gambar
ini masih oke-lah untuk di-publish bagi
tukang foto amatiran kek aku. Hehe..
Malam,
mungkin sekitar pukul 20.00 atau 21.00 WIB, aku sampai di Bandung. Pertama kali
yang turun adalah aku. Sungkan sebenarnya
meminta Pak Naufal menyebrangkan mobil di depan gang kosku. Mengingat jalanan
Suci di Bandung ini selalu padat kendaraan. Oh
my God! Ada banyak sekali oleh-oleh yang harus aku bawa. Belum lagi tas
pribadiku, laptop, serta dokumen-dokumen ini, sudah cukup membuatku terlihat
seperti orang pulang kampung. Namun, karena memang Pak Naufal menyadari barang
bawaanku sudah banyak, maka Pak Naufal berusaha membantuku juga mengangkut
kardus oleh-oleh itu ke kos. Pokoknya, terimakasih banyak Pak Naufal!
Berikut
adalah beberapa foto kami saat kegiatan Monev J
Komentar
Posting Komentar