Tentang Mimpi dan Masa Depan
Semasa kecil aku selalu bermimpi, suatu saat akan
ada waktu bagiku menjadi guru. Karena dahulu, aku selalu suka bagaimana guru
menerangkan pelajaran dan kemudian diikuti latihan soal serta menilai buku
murid-muridnya. Aku selalu menyukai masa-masa dimana aku membuat soal untuk
diriku dan kemudian menilai diriku sendiri. Intinya belajar menjadi guru untuk
diriku sendiri. Lucu jika ku ingat masa itu. Karena sebenarnya aku juga selalu
suka menjelaskan mata pelajaran apapun jika teman-teman bertanya padaku.
Terutama sekali adalah Matematika. Itu adalah favoritku sekaligus obsesiku.
Tapi
apakah mimpi itu adalah bagian dari cita-cita? Jika iya, berarti cita-cita itu
adalah relatif bagiku. Relatif berubahnya. Karena mimpi di setiap periode atau
masa selalu berubah-ubah seiring kita menjadi dewasa. Saat aku menginjak SMP
juga, mimpiku sudah bukan lagi menjadi guru. Melainkan ingin menjadi seorang
Profesor. Dan bahkan berencana masuk SMA ternama agar dapat mendalami mata pelajaran
IPA. Namun, bukankah hanya manusia perencana terbaik dan Tuhan adalah
penentunya?
Ya,
mimpi itu tidak dapat aku wujudkan dan berganti seiring dunia pendidikan yang
aku geluti. Ya, aku memilih untuk masuk menjadi siswa baru dalam jurusan
Akuntansi. Yang mana jurusan ataupun disiplin ilmu itu tidak pernah aku tahu
sebelumnya. Sungguh belajar hal baru itu adalah menyenangkan jika kita juga
menyukainya. Aku mulai menyukai Akuntansi ketika aku menemukan guru terbaik di
sekolahku. Meski hanya seorang guru magang. Yang mana ketika aku lulus, aku
juga menjadi mahasiswa di kampus yang sama dengan guru magangku namun tidak
dengan jurusan yang sama. Lalu, dengan bekal pengetahuan Akuntansi yang aku
geluti selama 3 tahun itu, akupun berniat ingin menjadi salah satu pegawai
pajak di Direktorat Jenderal Pajak. Bukankah itu suatu yang tak mustahil
mengingat background ku yang suka
angka dan Akuntansi ini?
Tapi,
lagi-lagi, mimpi itu harus ku kubur dalam-dalam. Tak dapat aku wujudkan adanya.
Aku harus merelakan tidak mendapat pengalaman belajar di salah satu Pendidikan
Tinggi paling bergengsi di Indonesia yaitu STAN. Ya, aku tak mampu melewati
keterbatasan dan penolakan orang tua ku untuk merantau hingga Ibukota kala itu.
Aku harus bisa berdamai hanya dengan menempuh pendidikan di kota kelahiranku,
yaitu UM. UM adalah kampus pertama yang membuatku berani lebih terbuka lagi
dalam berpikir dan berbicara. Meski di awal sempat ‘kagok’ namun mengenal
teman-teman dari berbagai latar belakang yang berbeda mebuatku sedikit menekan
rasa pesimis yang selalu menjalar di hatiku.
Atas
nama mahasiswa saat itu, aku berkeinginan menjadi pegawai di kantor pemerintah.
Akan tetapi, apakah itu adalah keinginan utamaku? Bahkan tidak sama sekali. Aku
memilih untuk berkeinginan menjadi pegawai kantoran tidak lebih hanya karena
sejalur dengan ilmu yang aku dapatkan di bangku perkuliahan. Bukan benar-benar
dari suara hati yang semenjak dahulu selalu menggenggam hatiku.
Bagiku,keinginan-keinginan
yang didasari idealisme dari semenjak kecil hingga aku diwisuda adalah mimpi.
Mengapa? Karena itu adalah angan semata yang berawal dari otak. Namun tidak
didasari hati. Menyukai namun tidak mencintai. Lantas dengan mimpi yang
segudang tidak membuatku bahagia? Justru aku sangat bahagia atas setiap
pencapaianku, terutama di tahun ini. Aku sangat bangga dengan pencapaian di luar
harapanku ini. Karena yang aku tau, mimpi-mimpi idealisme itu meski hanya
sebatas terucap di bibir dan dibatin dalam hati, sungguh Tuhan mendengarnya.
Dan pasti Tuhan mengabulkannya di waktu yang tepat. Atau jika tidak Tuhan
memberi penggantinya yang lebih baik di waktu yang lebih tepat.
Tahun
2018 menjadi saksi betapa harunya aku saat mengetahui diriku menjadi salah satu
wisudawati di UM. Yapz. Aku berhasil menyelesaikan studiku dalalm tempo 3,5
tahun. Dan aku pun dalam keadaan sudah menerima tawaran kerja di suatu
perusahaan yang tentu memiliki seragam untuk pegawainya. Haha. Dulu alasanku
ingin menjadi pegawai kantoran adalah salah satunya karena bekerja di kantor
akan mengenakan seragam. Dan itu terlihat keren. Sangat bersyukur saat itu
diterima sebagai pegawai di salah satu Koperasi di Malang.
Lalu,
kemudian, karena yang namanya mimpi memang adalah suatu hal yang bukan paten,
maka muncul lagi lah suatu idealisme ingin bekerja di tempat yang lebih tinggi
lagi. Muncul keinginan mendapat posisi yang lebih baik. Dan pada akhirnya
memutuskan mencari peruntungan dalam ajang CPNS. Sungguh itu adalah pertarungan
yang takkan pernah terlupakan. Pertarungan yang penuh dengan drama. Ada tangis
dan tawa.
Aku
membulatkan tekad memilih suatu posisi/jabatan yang memang aku rasa aku ‘tahu’
tentangnya. Aku pernah belajar tentangnya. Aku pernah berada di posisi itu dan
sedang bekerja dengan tanggung jawab yang itu-itu juga. Yapz. Aku memilih untuk
berkecimpung lagi dalam dunia keuangan. Dan aku mulai mencoba ‘belajar’ lagi di
tengah-tengah waktu 24 jam yang sangat singkat ini. Meski tidak mudah, ku
bulatkan tekad untuk belajar. Karena ada sebuah kalimat yang selalu saja
menggangguku, “masa iya lulusan S1, cumlaude,
tapi gak lolos tahap ini”? Sungguh itu kalimat paling menyebalkan yang aku
dengar dari orang-orang sekitar yang tak brtanggung jawab. Mengapa aku sebut
demikian? Ya, karena mereka hanya mampu mengomentari tanpa pernah tau bagaimana
proses yang dijalani dalam kritikannya.
Tantangan tidak hanya datang dari sindiran. Masih ada satu hal lagi yang
paling ku ingat yang memengaruhi psikologisku saat itu. Hal itu tidak lain
disebabkan keinginan untuk membuat orang lain ‘memandang’ aku. Tekad itu ku
dapatkan setelah berkali-kali selalu merasa diremehkan, dibandingkan, dan
selalu saja diejek perihal ‘nilai’ yang tinggi namun tak berprestasi apa-apa. But, hey! Mengapa lagi-lagi ‘orang kaya’
itu selalu menganggap persepsi mereka paling benar dan paling berhak membuat
kritikan itu. Tidakkah dia berpikir, bahwa di dunia ini tidak hanya soal siapa
paling mampu menciptakan duit banyak ataupun punya jabatan kerja bergengsi.
Dunia ini adalah soal menghamba pada-Nya dan menjadi yang bermanfaat untuk
sesama? Sungguh, tidak ada gunanya duit yang banyak jika selalu merasa kurang!
Beranjak dari dua parasit psikologis itu, aku memberanikan diri untuk
bermimpi dan berusaha mewujudkannya. Ingin sekali saja aku ‘tampar’ mulut
mereka dengan prestasiku, nanti. Aku berusaha sebaik mungkin untuk belajar.
Mencari sumber-sumber informasi mengenai tahapan-tahapan tes CPNS yang akan dan
sedang ku jalani saat itu. Ku paksa diri ini bekerja di atas normal. Ya, aku
ingat salah satu Presiden kita dalam pidatonya mengatakan bahwa “jika orang
lain belajar 4x, maka kita harus belajar 8x”. Aku lipat gandakan usahaku, demi
harga diriku! Meski tidak mudah, aku berusaha melakukan yang terbaik di
sisa-sisa waktu lelahku. Aku melakukan apapun demi menambah
pengetahuan-pengetahuan terkait tes CPNS. Baca soal online, latihan berhitung, dan corat-coret pun aku lakukan. Tidak
peduli tempat, entah di kantor atau dimanapun, selama beberapa minggu sebelum
bertempur, aku intensif mendoktrin diriku untuk belajar. Apapun yang terjadi.
Tapi, masa itu adalah masa yang sulit. Aku harus berusaha fokus ditengah
keterpurukan hati. Aku harus berjuang meski aku berada di titik terendahku.
Soal hati memang sungguh rumit. Tak dapat dibantah. Ia selalu menjadi aktor
dalam memengaruhi semua fungsi tubuh. Tapi, hey! Meski dunia jahat pada kita,
akan selalu ada saja penyemangat dalam melawannya. Saat aku mulai akan menyerah,
aku mengingat suatu mantra dalam novel Trilogi Negeri 5 Menara. Adalah “man shabara ala zhafira” yang berhasil
menguatkanku saat konflik hati terjadi. “Siapa yang bersabar akan beruntung”, seperti
itulah artinya.
Aku menata lagi hatiku. Mengesampingkan lagi urusan kamu dan sekelumit
pekerjaan dunia yang menyeballkan ini. Aku menasihati diriku untuk fokus hingga
titik terakhir, lalu kemudian dapat santai, sepuas hati. Oke, aku setuju dengan
pemikiranku. Dan berlanjut lah usaha-usaha memantapkan diri menuju detik-detik
tes CPNS tahap II. (Tes CPNS tahap I adalah Tes Administratif online, dan aku tak perlu menceritakan
detail hal tersebut karena itu hal yang umum dan semua orang tentu akan lolos
jika mengikuti dengan benar langkah teknisnya).
Tes tahap II ini menguji tentang pengetahuan akademik kita dari sisi
psikologi, matematika, pengetahuan Negara/PKN atau biasa umum disebut TKP, TIU,
TWK. Apa amunisi untuk lolos dalam perang otak ini? Tentu lagi-lagi aku harus
katakan, BELAJAR! Belajar saja apapun mengenai itu, sungguh tidak harus
muluk-muluk beli buku yang tebal, tapi nyatanya hanya dibaca sedikit. Masih mending
membaca sana-sini meski tanpa beli buku, karena yang diperlukan adalah bukan
seberapa banyaknya latihan soal. Tapi seberapa paham tentang apa yang kita
baca, seberapa konsisten kita membaca, dan seberapa terkaitnya apa yang kita
baca dengan nantinya soal yang kita hadapi. Intinya baca aja dulu, luangkan aja
dulu buat baca. Baru fokus memahami. Jangan menyerah dan bermimpi aja tanpa
berusaha. Karena dunia tidak sebaik itu!
Oke, tiba di tes ke II. Yang membuatku kembali ke Surabaya, dan
bernostalgia dengan kamu. Hhft, kamu yang menyebalkan!. Yang tiba-tiba harus
hadir di otakku sebelum berperang dengan ribuan pelamar CPNS. Ah, mengacaukan
fokusku dalam meraih masa depan. Masa depan yang masih setengah jalan saat itu.
Tapi aku berusaha pasrah atas hati yang tak mampu aku miliki sepenuhnya ini.
Karena masih ada Dia Sang Pemilik Hati.
Lalu kemudian dengan segenggam harap dan tekad, aku berhasil mencapai passing grade dalam tahap ke II ini,
meski itu berarti nilainya adalah ala kadarnya. Tapi aku sungguh bersyukur
masih diperkenankan lanjut dalam tahap selanjutnya. Jadi masih ada kesempatan
kedua dalam memperbaiki diriku, menata hati lagi, untuk kemudian adu kemampuan
melawan 1 pesaingku untuk dapat duduk di bangku pemerintahan ini. Satu tahap
lagi menuju kemenangan!
Lagi, aku mengandalkan mantra lainnya dalam novel Trilogi Negeri 5
Menara, “man jadda wajada” – siapa
yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Saat itu, tempat tes tahap III ini
sangat jauh dari kotaku. Aku harus bertaruh dengan tabunganku. Aku harus
berkali-kali berdamai dengan hatiku untuk mengambil kembali tabungan yang
sungguh tabungan ini adalah akan aku gunakan untuk aku dan kamu di masa depan.
Namun, aku menasihati diriku untuk melupakan harap tanpa pasti itu. Aku
beranikan diri menarik tabunganku untuk masa depan yang juga masih tabu. Dan
aku benar-benar bertaruh untuk ini. Oke, tiba di kota kembang ini lagi-lagi memaksaku
untuk bersabar dalam menghadapi Ibu yang penurut dengan Suaminya. Mengapa?
Dengan adanya Ibu dan keinginannya untuk membeli oleh-oleh ini sangat menyita
waktuku. Dan itu berarti masa lelahku semakin panjang. Ah entahlah. Sungguh
waktu itu adalah masa yang sangat menyebalkan.
Tentu untuk mengakali itu semua, aku kembali memaksa diriku begadang
hingga larut untuk belajar. Meski lelah melanda namun aku tak peduli, karena
aku hanya punya waktu kurang dari 24 jam untuk menuju medan pertempuran. Menit-menit
yang menegangkan dan membuatku panik.
Kenapa? Jelas karena aku tak punya persiapan matang, dan aku merasa aku
masih kurang belajar. Namun, aku mulai menebak-nebak dan memilah informasi apa
yang palling perlu aku serap saat itu. Aku balik lagi memerhatikan jabatanku
dan mengait-ngaitkannya dengan kemungkinan soal yang aku hadapi. Itu adalah
satu-satunya solusi terbaik menurutku dikala kita tak punya banyak waktu. Tentu
tanpa mengesampingkan doa.
Meski begitu, masih ada saja suatu keraguan untuk bisa melewati tahap
ini. Dan kau tau apa yang paling ampuh dalam menghadapi apapun itu setelah
usaha dan doa? Ridho orang tua! Ya, kali ini sungguh meski aku sempat sebal
dengan Ibu, tapi beliau adalah Ibu yang sangat aku hormati dan sayangi. Dengan
ridho dan doanya pula yang menjadikan aku hingga sampai pada titik ini. Aku
mengesampingkan gengsi dan rasa malu-ku untuk benar-benar dan sungguh-sungguh
meminta doanya. Ini adalah kali pertama dalam hidupku menunduk pada Ibu, masih
merasa perlu ‘meminta’ padanya layaknya anak kecil yang meminta untuk
dikabulkan permintaannya. Dan memang benar saja, meski sudah 21 tahun –saat
itu– Ibu masih saja menganggapku putri kecilnya. Yang masih perlu beliau jaga,
beliau sayangi, beliau doakan, dan beliau tangisi disaat idealismeku muncul.
Aku akhiri persiapan tempurku dengan meminta doa restu Ibu sebelum memasuki
ruang tes.
Di luar dugaan, pada akhirnya segala persiapan dan pengorbanan apapun
itu terbayar sudah dengan pengumuman kelulusanku. Namaku satu-satunya
terpampang dalam 1 kursi pemerintahan yang diperebutkan jutaan orang itu.
Sungguh ini adalah kado indah dalam menyambut hari-ku di awal tahun. Semoga ini
adalah awal masa depan baik untukku, dan kamu.^^
Komentar
Posting Komentar