Suka?
Hey, sepulangmu dari mendaki Gn.Welirang, kita
terlibat pembicaraan panjang. Diawali dari gombalan hingga obrolan serius.
Entah atas dorongan apa, aku mulai memberanikan diri menanyakan bagaimana
perasaan om yang sebenarnya. Habisnya hidup dalam rasa penasaran itu sungguh
menyebalkan. Setiap melakukan apapun akan terbebani pikiran, gimana perasaanmu
yang sebenarnya? Karena sungguh aku takut. Takut kembali terulang peristiwa
pahit nan menyedihkan itu. Patah hati.
Aku tak pernah membayangkan betapa hari berlalu
sebagai saksi kedekatan kita hinngga kini. Mengenalmu di dalam sebuah tempat
baru saat itu, sungguh di luar kuasaku. Kamu yang sebagai orang pertama
menyambutku di hari kerja. Mengantarku ke ruangan kerja. Dan mengobrol seadanya
saja. Kamu yang tak lain memiliki background
yang sama denganku, sama-sama
memiliki pengalaman beralmamater biru navy.
Tapi yang tak ku sangka, bisa-bisanya
dirimu yang notabene anak sastra ‘nongkrong’ di koperasi. Sungguh tak bisa ku
percaya :’)
Kita adalah dua insan yang saling tak mempercayai
keadaan ini. Mempertanyakan segala hal terkait ‘kita’. Bingung dengan suatu
kebetulan yang tidak pernah direncakan ini. Menggali-gali informasi terkait
ketidakterdugaan ini. Karena memang dari awal pun kita hanya sebatas rekan
kerja yang posisi kita tidak saling berkaitan, namun mengapa sekarang kita
sama-sama salling ‘melihat’? ‘memperhatikan’? ‘melirik’? bahkan saling berbagi
pengalaman.
Seiring berjalannya waktu, kita Saling berbagi waktu.
Dimulai dengan kill the time on cinema.
Menghangatkan tubuh dengan segelas STMJ. Bercerita ini-itu. Terkagum dengan si
Bung – Fiersa Besari. Namun, kau menyukai pengalaman mendaki dari si Bung, aku
menyukai setiap goresan tinta nya. Kita beralih topik pada : apakah aku jomblo?
Begitupun denganmu yang menceritakan kisah masa lalumu. Bagaimana suatu
hubungan dimulai dan berakhir. Sudah pernah merasakan indahnya mencinta dan
dicintai. Pernah bersama-sama membangun bahtera Rumah Tangga dengan seseorang.
Pun dengan patah hati. Sudah sangat sering merasakannya. Saat itu, kita mulai
semakin dekat. Sampai pada akhirnya kedekatan ini berakhir dengan kabar
perantauanku.
Ya, aku memilih untuk menjalani kehidupan yang sudah
ku rencanakan dalam cerita hidupku. Dan entah kenapa perpisahan ini sungguh
mendadak dan membuat dilema di hati di detik-detik terakhir. Hingga akhirnya
aku memutuskan mencari petunjuk dengan shalat malam. Menghamba pada-Nya.
Memasrahkan segalanya. Memohon dan berdoa yang terbaik hanya pada-Nya. Kau pun
juga, mendukungku. Sungguh membiarkan temannya berjuang meraih cita-cita itu
adalah hal yang indah dalam suatu hubungan ini. Aku sangat menyukai lelaki yang
mendukungku disaat tidak ada yang mempedulikanku. Disaat semuanya hanya datang silih
berganti ketika butuh. Dan dengan seenaknya pergi tanpa pamit.
Tidak hanya berhenti pada sikapmu dan ceritamu, aku
juga menyukai setiap pengalaman dan kebiasaanmu. Kamu juga yang menyukai anak
kecil dan sepertinya penyayang wanita juga. Kamu yang setia – katanya. Kamu
yang suka dengan alam dan bersepeda. Seorang anak sastra, yang sungguh sangat ‘berpengalaman’
dalam segala hal. Santun. Dewasa. Kamu memiliki semua sifat ‘hampir’ sempurna
itu. Aku tak ingin mengatakan bahwa dirimu sempurna, mengapa? Buka karena masa
lalu-mu yang menurut persepsimu sendiri adalah buruk, tetapi memang karena
sebuah prinsip umum bahwa kesempurnaan hanyalah milik-Nya. Jadi sudah siap-kah
bersama? ^^
Komentar
Posting Komentar