Suatu Upaya dalam Berproses.
Kisah
ini bermula dari keinginan untuk mencoba. Mencoba menjadi salah satu yang
berjuang memperebutkan 1 kursi dalam struktur organisasi di suatu instansi
pemerintah, dengan bersaing melawan ribuan atau bahkan jutaan penduduk negeri
ini. Indonesia. Ya, menjadi bagian yang berkontribusi dalam satuan kerja
Kementerian/Lembaga Pemerintahan mungkin menjadi suatu hal yang amat
teristimewa bagi kebanyakan orang. Dan aku adalah salah satu yang memasukkan
pilihan ini dalam list masa depan –
meski pilihan ini bukanlah yang utama. Mengapa? Karena aku lebih memfavoritkan
waktuku saat menulis daripada bergelut dengan angka. Lebih menyukai ‘kebebasan’
daripada suatu rutinitas sistematis yang membosankan.
Sudah
menjadi kebiasaan para Sarjana untuk mencari sebanyak-banyaknya nfo mengenai
lowongan pekerjaan yang ideal dengan pendidikan yang telah ditempuh selama ±16
tahun ini. Atau bahkan tak sedikit yang menempuh kurang dari 16 tahun, sebab
adanya sistem akselerasi dalam dunia pendidikan kita. Begitu pula dengan aku.
Aku menjadi bagian dari penduduk Indonesia yang sibuk dengan
informasi-informasi lowongan pekerjaan. Dan lupa jika ingin mendapat sesuatu,
tidak hanya cukup dengan ijazah Sarjana dan pengalaman belajar selama 16 tahun.
Melainkan harus benar-benar siap dan memantaskan diri se-layak kamu memiliki
ijazah atas pencapaian belajarmu!
Berkaitan
dengan ‘mempersiapkan diri’ itu, aku ibaratkan ketika kamu ingin mendapatkan
pasangan. Tentu, akan berawal dari instrospeksi sikap, kepo-in tentang si doi,
memperbanyak ibadah, atau apapun yang memungkinkan kita untuk dekat dengan dia.
Benar tidak? Jadi, sama halnya dengan karir. Kita harus mencari tau
sebanyak-banyaknya informasi mengenai instansi dan jabatan yang kita ‘lirik’.
Karena itu adalah ujung tombak dan amunisi penting sebelum berperang.
Jika
persiapan itu telah matang, maka pantaskan dirimu mendapatkan kesempatan itu. How do it? Belajar! Ya, belajar seputar jabatan itu dan
perdalam ilmu mengenai jabatan itu. Sungguh tidak ada yang dapat membantu –
dalam hal teknis, selain ilmu yang kita miliki. Namun, jangan terjebak juga
dalam mempelajari 1 hal. Karena untuk dapat menduduki suatu jabatan itu, perlu skill dan pengetahuan umum lainnya.
Layaknya kita telah mendapat nomor telepon dan seluruh informasi si doi – entah
karakter, hobi, dan apapun tentang diri doi, maka kita perlu mengetahui dengan
siapa dia bergaul. Lingkungan seperti apa tempat tinggalnya. Sekolah dimana,
dan lain sebagainya.
Akan
tetapi, aku adalah orang yang moody.
Meski sudah mendapat nasihat ini-itu tentang bagaimana menembus tahapan seleksi
pekerjaan, tetap saja masih ‘kekeuh’ untuk menolak bersusah payah dalam
belajar. Ya, ketika pertengahan Agustus dan September – jika tak keliru, yang
berarti benar, Pemerintah mulai gencar mem-publish
informasi CPNS. Posisi Calon Pegawai Negeri Sipil ini sungguh menarik perhatian
kalangan pemuda-pemudi. Termasuk aku – yang notabene baru saja diwisuda itu, tentu
sangat tertantang untuk mencoba keberuntunganku. Sungguh pendaftaran tersebut
sangat-sangat menyebalkan. Mengapa? Adalah alasan klasik, dimana kemungkinan
sistem informasi yang diakses pelamar melalui website tersebut selalu down.
Dan hingga kini, tidak ada peningkatan yang signifikan mengenai hal itu.
Lupakan mengenai alasan klasik.
Pada saat seluruh instansi mulai meng-upload
tawaran jabatan, aku dengan sigap memantau. Melalui wifi yang kencang
tentunya. Sangat beruntung hari-hari itu adalah hari dimana kampus-kampus
sedang libur! Pun dengan kampusku,
sedang libur. Dan memanfaatkan fasilitas sekitar adalah licik yang sederhana. Aku
pun dengan leluasa memilih area-area ‘ternyaman’ untuk mengakses apapun tentang
CPNS melalui fasilitas kampus. Hal yang pertama aku lakukan saat itu adalah
melakukan pencarian jabatan yang sesuai dengan passion donk. Atau kalau aku boleh sarankan, meski tidak sesuai
dengan passion, setidaknya jabatan
itu adalah cerminan disiplin ilmu yang paling kamu kuasai, guys! Namun sialnya, disaat aku mengakses informasi tersebut,
disaat yang bersamaan pula instansi maupun website
pendaftaran CPNS sedang update informasi.
Sungguh suatu timing yang salah.
Beranjak
dari kesalahan itu, aku kembali menata rencana se-rapi mungkin. Meskipun saat
itu juga waktuku harus terbagi untuk kamu, my
job, dan si CPNS ini. Duh, adalah suatu tantangan tersendiri untuk
melakukan 3 hal itu dalam 1 waktu. Berbagi waktu untuk menemanimu, dan
berbisnis denganmu. Melakukan pekerjaan rutinku sebagai seorang staf. Dan
sebagai jobseeker untuk kesempatan
yang diberikan pemerintah 1x dalam 1 tahun ini.
Mengenai
kamu dan bisnis yang sedang kita lakukan selama hampir 1 tahun itu, tentu
adalah suatu kegiatan yang menguras otak dan tenaga. Bagaimana tidak? Membaca,
berpikir dan menulis itu adalah irama kerja yang memiliki frekuensi tinggi.
Percayalah, andai bukan karena kamu, sudah aku abaikan perihal bisnis
menyebalkan itu! Andai bukan kamu, aku akan menghindari diriku dari beberapa
pemicu jenuh dan stress kerja ini.
Akan
tetapi, tantangan yang sesungguhnya bukan itu. Justru tantangan itu terletak
pada diri sendiri. Mampukah tetap fokus ? Fokus terhadap rintangan-rintangan
yang mengiringi perjalanan kita menggapai masa depan. Bergelut sebagai pelamar
CPNS (meski bukan cita-cita utama! dan mengenai masa depan dan cita-cita ini,
akan ku ceritakan nanti dalam part diary berikutnya).
Aku
dihadapkan pada rutinitas kerja kantor yang mungkin terasa ‘biasa’ saja ketika
sudah terbiasa. Namun, itu adalah suatu kesulitan disaat aku harus memahami
dengan ‘cepat’ kegiatan perusahaan yang mana nantinya aku sebagai Penyusun LK. Memahami
secara massif seluruh kegiatan perusahaan selama 1 bulan bukan perkara yang
mudah. Karena percayalah, minggu pertama dan kedua di dunia kerja adalah bagian
dari sebuah adaptasi. Minggu ketiga adalah perkenalan. Dan normalnya minggu
keempat adalah fase dimana otak kita mulai merangkai puzzle-puzzle informasi yang membuat kita paham mengenai posisi maupun
lingkungan kerja kita. Dan menjadi bodoh di dalam masa ini adalah suatu
kewajaran yang tidak bisa dihindari.
Belum
berhenti sampai disitu, aku masih melakukan pekerjaan sampinganku setiap malam
dengan kamu. Ya kamu. Berbisnis dengan kamu. Itu cukup menyita waktuku. Hingga membuatku
selalu pulang larut malam. Dan tentu aku harus merelakan waktu tidur nyenyakku
barang 2 atau 3 jam hanya untuk melaksanakan rencana yang sudah terjadwal.
Yaitu belajar. Ya, setidaknya aku harus memiliki fokus minimal 30 menit
diantara 3 jam untuk memulai membaca dan latihan soal. Mengapa 30 menit? Karena
sungguh aku bukan manusia sempurna yang dapat melakukan 3 kegiatan dalam 1 hari
tanpa rasa lelah, jenuh, dan malas.
Mungkin
adalah suatu kesalahan juga memaksa diriku yang lemah ini untuk terus bekerja,
bekerja, dan belajar. Sebab rutinitas ini membuatku sedikit banyak mengalami ‘ketegangan’
otak. Aku tidak tahu dengan pasti apa yang kurasa, hanya saja aku menyebut
otakku mencapai batasnya. Setelah beberapa waktu ditempa dengan skripsi, revisi,
dan sidang, kemudian dirumitkan dengan kamu, bisnis, bekerja, dan belajar.
Sungguh melelahkan jika harus memenuhi semua tuntutan itu.
Namun,
1 hal yang aku dapat pelajari dalam keterbatasan atas diriku dan waktu ini. Aku
terbiasa dengan ritme dan tekanan, sehingga membuat diriku secara alami tahu
mana porsi yang harus aku lakukan terlebih dahulu dengan fokus tinggi, dan mana
hal yang harus aku kerjakan dengan santai namun tetap fokus. Karena yang aku
tahu ketiga kegiatan utamaku itu sama-sama memerlukan ketelitian. Inti dari
pembicaraan fokus yang aku maksud adalah keadaan dimana kita dapat
mengerjakannya tanpa beban dengan durasi waktu singkat yang kita miliki. Nah
bagaimana aku mendapatkannya? Justru kembali diri ini memainkan perannya
sendiri. Kita tak perlu memikirkan harus tepat dengan deadline dalam list renacana
kita. Justru dengan melupakan rencana dan waktu, diri ini dapat lebih rileks
dalam melaksanakan tugasnya tanpa dikomandoi otak sekalipun. Kuncinya, disaat
istirahat bolehlah mungkin otak kita mengacau dengan idealismenya menyusun deadline dan rencana. Namun saat action, biarlah kita serahkan dan
percaya dengan diri kita. Kita mengerjakan A, fokus untuk menyelesaikan A tanpa
harus membebani hati kita dengan pikiran harus selesai dalam waktu X menit.
Justru biarkanlah otak, hati, mata, dan tangan kita menyatu. Biarkan tubuh ini rileks
terlebih dahulu dalam pekerjaan yang kita pasrahkan. Maka percayalah tanpa kita
harus takut molor, justru diri kita melakukan aksinya di luar ekpektasi yang
akan membuat kita ‘bangga’ dan menghargai diri kita. Dan timbal balik kita
adalah mengapresiasi dengan melakukan apapun yang kita sukai setelah semuanya
berakhir. Entah tidur, entah membeli makanan, entah apapun itu, sehingga
kesemuanya itu akan membuat segalanya terasa ‘ringan’, mudah dan terlewati
begitu saja.^^
Komentar
Posting Komentar