Agustus
Gerimis masih saja
enggan meninggalkan kota. Rintiknya tabah mengguyur hingga berjam-jam lamanya. Kali
ini banyak yang singgah dalam ingatan. Dulu, sekitar 2 tahun silam aku pernah
se-gembira itu menyambut hujan. Tertawa-tawa menikmatinya dengan seseorang yang
amat dekat denganku. Seseorang yang sering aku panggil Umel (lemu) atau sering ku ejek dengan
panggilan “jelek!”
Suatu hari itu,
kami berdua berniat melepas penat. Berboncengan menuju kota yang lebih sejuk dibanding
kota kelahiranku. Kota yang sedikit lebih tinggi permukaannya dan lebih dekat
dengan gunung. Kami tidak khawatir tatkala awan menutupi sebagian langit biru. Sebab
jikalaupun hujan, ada mantel yang disimpan di jok motornya.
Tanpa tujuan,
karena memang aku lebih suka menikmati terpaan angin di sepanjang perjalanan. Meski
tau motor yang ku naiki akan mengarah kemana, tapi tetap saja aku lebih suka
duduk dibonceng di atas motor. Aku menyesapi setiap waktu yang ku habiskan
dengannya. Bercanda ala kadarnya, dan
berbicara sekenanya.
Aku suka setiap
kali motor melaju dengan cepat di sepanjang jalan yang tidak ramai. Aku sudah
merasa laiknya burung yang terbang bebas di angkasa. Tanpa beban, tanpa
halangan. Hanya menikmati ruang bersama dengannya. Lalu imajinasiku terhenti
karena ada tetes air yang jatuh menepi di wajahku. Aku angkat kepalaku
memandangi awan yang kian mengabu. Kota menjadi sedikit lebih gelap dari
biasanya. Namun kami memutuskan untuk tetap meneruskan perjalanan. Kepalang tanggung,
sudah setengah perjalanan.
Semakin jauh motor
kami melesat, maka semakin banyak kami mendapati pengendara yang sudah lengkap
mengenakan atribut mantel. Kami pun jadi sedikit ragu, karena masih saja kukuh
untuk membiarkan tubuh ditetesi gerimis. Akhirnya ketika tetesnya semakin gede, kami menyerah. Menepi untuk sekedar
memakai mantel. Aku terkejut, karena dalam benakku si jelek itu membawa mantel
yang “layak”. Namun itu hanya mantel “seadanya” – yang pada akhirnya setelah ku
pakai, mantel itu sedikit sobek pada beberapa bagiannya.
Aku kira dia
benar-benar membawa 2 pasang mantel, yang ketika hujan kita masih aman untuk
tetap diguyur tanpa merasa basah. Tetapi, kala itu malah semakin sering kita
diguyur hujan, maka semakin basah lah kita. Sepatuku pun jadi korban. Pun dengan
jam tangan dan sebagian punggungku yang ku rasa dingin akibat tetesan air yang
berhasil masuk melalui celah-celah mantel yang sobek.
Akhirnya kami pun
putar arah, mengurungkan niat menikmati alam hijau di depan. Masih banyak waktu
lain, pikirku. Sialnya, entah karena musabab apa. Hujan membuat jalanan menjadi
semakin padat. Lebih padat dari saat kita mulai berkendara. Sementara hujan
semakin deras, dia pun semakin kencang membawa motor untuk melaju. Aku teriakkan
padanya agar jangan terburu-buru dan aku baik-baik saja meski kehujanan, sebab
aku pikir jalanan semakin licin akan tidak baik untuk dilalui oleh gerakan ban
yang terlampau cepat. Bisa-bisa rem blong atau hal buruk lainnya. Dia akhirnya
mengurangi kecepatan, namun tetap saja, bagiku itu masih terlampau cepat. Dan aku
pun menahan diri untuk tidak terbawa rasa takutku semakin banyak. Aku akhirnya
memilih menyembunyikan kepalaku ke balik mantel kelelawar miliknya. Tidak ada
pemandangan yang patut dinikmati. Hanya ada motor yang saling mendahului yang
lain, dan bunyi klakson dimana-mana. Pun dengan degup jantungku yang kian
mendebar.
Setelah hampir 2
jam ada di kerumunan pengendara, motor kami sampai di sebuah daerah yang dekat
dengan tempat tinggalnya. Kami memilih menunggui hujan di sebuah warung. Aku lega
akhirnya terbebas dari mantel ‘busuk’ itu. Hahaha..
Kami memesan mie
dengan jeruk hangat. Karena rasanya kedua menu tersebut cukuplah untuk
menghangatkan tubuh yang sudah menggigil. Setengah jam berlalu, sambil menyusun
rencana lain untuk menghabiskan 1 hari ini full
tanpa memikirkan rutinitas apapun. Lalu, kami memutuskan untuk menikmati
kebersamaan dalam mall. Sebenarnya tidak
ada yang menarik dari sebuah gedung yang berisikan segudang penjual pakaian dan
makanan modern itu. Namun, memang
tidak ada pilihan lain, sebab alam sedang tidak bersahabat dengan hujan dan
petirnya.
Ah, dia. Meminjam telinganya
sejenak saja untuk berkeluh kesah sudah membuatku tenang. Meminjam sebentar
saja bahunya untuk bersandar sudah membuat lelahku pulih. Meminjam sebentar
saja genggamannya, sudah membuatku merasa paling aman di dunia ini.
Hay, kamu. Terimakasih
untuk segala hal baik saat itu. Mungkin sepotong cerita ini bisa mengingatkanmu
kembali, bernostalgia, tentang betapa sederhananya bahagia bersamamu. Hanya makan
di warung emperan. Hanya mengobrol
denganmu di taman kampus. Menemanimu memilih referensi di perpustakaan. Mendampingimu
mengerjakan tugas dengan mengandalkan wifi gratis kampus. Berdua berjalan
mengitari kampus. Aku sungguh bahagia mengenalmu, jelek J
G pernah update lg ya??kapan yg terbaru rilis????
BalasHapussudah diupdate kaka :)
BalasHapus:) jd pembaca setia :D
BalasHapusTerus berkarya
thank you :)
Hapus