Kamu dan Gunung

Duniaku masih dipenuhi olehnya. Lelaki yang suka tertawa. Aku terlalu bodoh jika mengabaikannya. Karena setelah pertemuan pertama, kebaikannya tidak berkurang bahkan terus menerus membuatku terpesona.

Pagi itu, aku terlambat bangun 2 jam dari waktu yang telah ku rencanakan. Tanpa memedulikan mata yang masih mengantuk, aku bergegas untuk mandi dan berdandan. Jam di ponselku menunjukkan pukul 09.30. Ah, lagi – lagi waktu terlalu cepat melesat. Buru – buru aku meneleponnya. Berharap dia sudah bersiap untuk acara hari ini.

Dering pertama lewat, begitu pula dengan kesepuluh dering berikutnya. Argh, hatiku kesal. Semuanya menjadi terlambat karena kecerobohanku mematikan alarm. Aku tidak tahu harus melakukan apalagi untuk membangunkannya selain memanggil nomor ponselnya. Kali ini aku berharap mimpi semalamnya segera berakhir.

“Berhasil!”, seru hatiku.

Dengan suara yang dipaksa, dia menjawab panggilanku. Aku hampir dapat membayangkan betapa enggan matanya untuk terbuka mengingat waktu istirahat yang singkat pasca makan malam pertamaku dengannya di Braga. Aku juga tidak yakin apakah otaknya sudah siap memproses suaraku di seberang. Namun yang jelas, dia menyetujui untuk menjemputku pada pukul 10.00.

“Oh Tuhan, aku terpesona dengannya, lagi”. Betapa dia tidak mengeluh sedikit pun dengan ocehan pagiku yang membuatnya harus ‘melek’ lebih awal dari yang dikehendakinya.

Jantungku semakin berdegup kencang tatkala waktu menunjukkan pukul 09.55. Aku semakin gelisah mengingat sebentar lagi aku akan menemuinya lagi setelah malam itu. Aku sangat bahagia untuk itu, namun di sisi lain aku semakin tidak tenang dan hampir frustasi menhadapi kegugupanku kali ini. Hati dan pikiranku kini melontarkan pernyataan berlawanan. Hatiku memohon kepada waktu, tunggu sebentar lagi. Dan sebuah kemustahilan bagi waktu untuk mendengarnya. Sementara itu, otakku dengan lantang meneriakkan, ayo cepatlah datang, aku sudah tidak sabar untuk melihatnya lagi.

Deru motor di jalan depan indekosku semakin menambah dramatis rasa gelisahku. Aku hampir tidak sanggup untuk mengendalikannya. Aku terlalu panik mempersiapkan diriku untuk acara yang telah kami sepakati malam itu. Bahwa hari ini akan menjadi hari paling berkesan untukku, karena akan menghabiskan waktu dengannya – seorang teman lelaki, dan bukannya dengan keluarga – untuk bersantai di gunung.

Aku masih bingung dengan : kalimat apa yang harus aku utarakan ketika dia datang nanti? Topik apa yang akan aku bahas selama perjalanan dan tiba di gunung nanti? Ide makanan apa yang harus aku tawarkan selama dia disini? Dan hal lainnya yang seharusnya dapat diimprovisasi dengan baik oleh kebanyakan orang, namun tidak untuk seorang introvert sepertiku.

Ketika aku masih berkutat dengan pikiranku, bersamaan dengan itu seseorang sepertinya telah memarkir motornya di depan pagar indekosku. Dia sudah tiba, bisik hatiku.

Aku berjalan menemuinya. Senyumnya membuatku tidak kuasa untuk tidak tersenyum pula. Setelah cek perlengkapan di tas, aku mengajaknya untuk mampir sebentar ke dokter. Karena sepertinya ada yang tidak beres dengan bagian perut sebelah kiriku.

Aku sudah terbiasa untuk melakukan segalanya sendiri, termasuk untuk urusan administrasi saat check up di klinik atau rumah sakit. Namun untuk pertama kalinya, aku merasa memiliki kakak laki-laki yang siap merawat adiknya. Segala urusan administrasi di back up olehnya. Pun dengan tasku, semua diurus olehnya. Bahkan untuk hal sepele seperti melepas sepatu pun, dilakukannya.

“Aku berkali-kali bersyukur pada Tuhan telah diberi kesempatan bertemu dengannya. Bertemu malaikatku”

Sebenarnya jika bukan di rumah sakit, aku sudah akan menangis. Terharu dengan kebaikan dan ketulusannya. Bahkan dia bukan orang yang merasa jijik untuk menyimpan dan memasangkan kembali kaus kaki dan sepatuku. Tidak ada sedikit pun raut kekecawaan menghampiri wajahnya, mengingat aku telah mnegacaukan rencana liburan kami hari ini. Yang tersisa di wajahnya selain raut syukur bahwa aku baik-baik saja, adalah perasaan khawatir bahwa kalau nanti sakitku akan kambuh kembali.

Tengah hari ini seharusnya matahari sedang asyiknya membanjiri bumi dengan terik sinarnya, namun sayang, kali ini awan kelabu yang menyelimuti kota. Aku tidak ingin membiarkan perutku kosong saat menghadapi perjalanan panjang nanti, jadi aku mengajaknya untuk sarapan sekaligus makan siang di sebuah warung yang berada di pojokan sebelah traffic light.

Aku ragu kalau kami dapat pergi ke gunung, mengingat angin dingin yang biasanya menjadi pertanda bahwa sebentar lagi awan akan memuntahkan air dalam perutnya. Keraguanku pun terbaca olehnya. Tapi yang paling tidak aku sangka adalah apa yang diutarakannya setelah itu. Bahwa dia tidak peduli apakah dia dapat pergi ke gunung hari ini atau tidak, bahwa yang ingin dia lakukan hanyalah menemaniku kemanapun aku ingin. Oh astaga, I’m speechless at the time.

Usai mengisi perut, kami mengisi penuh pula bahan bakar si kuda besi agar tidak ada drama kehabisan bensin selama perjalanan panjang ini.

Dalam perjalanan kali ini, dia begitu sabar menunggu instruksi arah dari maps online dariku. Namun, belum saja seperempat perjalanan, hujan pun jatuh. Rintiknya semakin deras tatkala kami memasang mantel. Kembali, aku menemui kebaikannya, yang sangat jarang dan hampir belum pernah aku temukan pada diri orang lain. Saat hujan semakin deras, aku buru-buru mengenakan mantel. Namun karena panik, memasang mantel menjadi seperti memasang gaun, yang ribet sana-sini. Padahal kalau tenang, harusnya aku hanya tinggal memasukkan tangan dan kakiku sesuai tempatnya dan merapatkan resleting pada kedua sisi bajunya. Dengan mudahnya dia melupakan dirinya yang belum mengenakan mantel, dan malah membantuku memasang mantel. Sontak saja aku sebal, karena dia menjadi basah kuyup hanya karena diriku.

Sebenarnya kekesalan yang aku luapkan padanya lebih ditujukan untuk diriku sendiri. Diriku yang tak mampu menjadi partner yang baik untuknya dalam perjalanan nan panjang ini. Diriku yang tidak bisa menahan emosi itu sendiri. Aku sedih membuatnya merasa bersalah karena diriku, aku marah pada diriku. Namun kenyataannya, bahkan dialah yang menerima makian dariku. Dirinya juga yang harus menanggung rasa sebal itu. Aku ingin menangis, namun aku takut membuatnya merasa semakin bersalah ketika mengetahui isakanku di balik punggungnya. Rasanya, saat itu, aku hanya ingin memeluknya dengan erat. Aku ingin membisikkan padanya, bahwa akulah satu-satunya orang yang bersalah dalam hal ini. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Lidahku kelu, dan aku hanya bisa terdiam dengan pikiran berkecamuk.

Aku tahu, sangat tidak mudah mengendarai sepeda motor dalam keadaan hujan. Belum lagi, karena suara hujan membuat suaraku tertelan, maka dia membujukku untuk menaruh saja ponselku di phone holder waterproof. Meski awalnya aku menolak, namun dia meyakinkanku bahwa berusaha mendengar suaraku jauh lebih sulit daripada melihat maps langsung di phone holder tersebut.

Di tempat dudukku, aku hanya berdoa agar perjalanan kami aman hingga sampai pada tujuan, begitu pula ketika kembali pulang. Aku juga berdoa agar dia tidak jera untuk mampir kembali ke kota ini, menemuiku. Aku berharap, lebih banyak kesan bahagia yang dia temui disini daripada sebaliknya.

Hampir 2 jam menempuh perjalanan, akhirnya kami sampai di pintu masuk pendakian. Yang mengejutkan, ternyata jalur tempuh ke puncak dapat dilalui dengan kendaraan. Dan asyiknya, setelah membayar tiket masuk, kami diberi susu dan snack.

Di tempat parkir, kami segera menanggalkan mantel dan merapikan kembali pakaian kami. Aku masih ingat suara lembutnya saat menanyakan, apakah aku sudah selesai – untuk merapikan setelan outfit-ku. Lagi-lagi, aku tidak bisa untuk tidak tersenyum saat menjawabnya. Aku melihat matanya, dan aku yakin bahwa diriku satu-satunya fokus utamanya hari ini dan di tempat ini. Bukan gunung sebagai objek yang perlu diperhatikan, melainkan hanya aku. Sungguh, aku belum pernah merasa seistimewa seperti hari ini, dengan lelaki di sampingku.

Melihat sebuah dataran yang dipenuhi awan – yang kelabunya sedikit mengganggu keindahan puncak gunung ini, aku spontan menghirup dalam-dalam udara segarnya. Tidak peduli dengan kelabu, aku tetap bersyukur bisa mencapai puncak dengan selamat, dan juga bersamanya.

Berulangkali dia menawarkan untuk makan, setiap kali mataku melirik ke warung-warung di pinggir jalan. Namun, sesungguhnya aku tidak lapar sama sekali, dan aku mulai jengkel mengetahui dia menanyakan pertanyaan yang sama terus-menerus. Meskipun aku (terlambat) menyadari, bahwa sebenarnya dia sedang khawatir dengan kesehatankku, mengingat diagnosis dan nasihat dokter tadi.

Ada banyak sekali potret diriku di ponselnya. Mengingat kualitas kamera di ponselnya lebih bagus, maka secara tersirat kami memutuskan menggunakan ponselnya untuk mengabadikan setiap momen di gunung. Sebenarnya aku mempertanyakan, mengapa dia lebih tertarik untuk mengambil potretku yang belum siap dan tidak sadar kamera? (yang baru-baru ini ku ketahui alasannya). Tentu saja, menambah panjang daftar kekesalanku padanya pada satu hari ini. Tapi, lagi-lagi aku menjadi merasa bersalah mengingat dia selalu menyetujui – dan hampir tidak pernah menolak sedikitpun – setiap pernyataanku. Untuk menebus itu, terkadang aku alihkan pandangannya dengan mengajaknya mengobrol. Ternyata sungguh melegakan mendengar suara tenangnya. Mendengar dan melihat tawanya adalah adegan favoritku. Hehe J

Aku pun membujuknya untuk mengabadikan potret dirinya di gunung ini. Aku tidak enak hati, bahkan diantara puluhan fotoku di ponselnya, tidak ada satupun foto dirinya. Kemudian aku tersadar, bahwa dia bukan orang yang senang berada di depan kamera.

Setelah puas menjelajah gunung ini, dan potret sana-sini, kami memutuskan untuk kembali ke kota, sebelum gelap mulai turun. Tetapi, aku terkejut mengetahui dia mengajakku ber-swafoto dahulu. Aku yakin, itu adalah keberanian terbesar yang dimilikinya hari itu. Mungkin kalau aku dapat kembali pada momen itu, dan berkesempatan melihat adegan diriku dan dirinya, aku rasa saat itu kami berdua malu-malu untuk melakukannya – berfoto bersama. Sebelum dia mengucap hal tersebut, sebenarnya aku pun juga mengumpulkan keberanian untuk mengajaknya berfoto. Tetapi, keberanian yang dimilikinya lebih dahulu terkumpul daripada milikku. Jujur, aku sangat senang!

Sampai di kota, hari sudah gelap. Aku pun juga tidak mau menyusahkannya untuk berlama-lama menemaniku, mengingat besok adalah Senin. Huh, Senin adalah hari paling menyebalkan untuk diingat ketika kita sedang berlibur. Aku pun mengajaknya untuk segera makan malam, sebelum dia balik. Aku tidak ingin mendengarnya sakit setelah hari ini.

Kembali kami mendatangi warung pojokan sebelah traffic light. Soto adalah pilihan terbaik untuk mengisi perut saat musim hujan. Setelah beberapa jam menghabiskan waktu bersama, kami mulai lebih sering mengobrol banyak hal. Apapun yang terlintas di pikiran, akan menjadi topik malam itu.

Aku sedikit sedih mengetahui sebentar lagi kami akan berpisah. Dalam perjalanan menuju terminal bus yang mengantarnya ke ibukota, ingatanku kembali terbang pada kebersamaan kami di gunung. Aku masih belum percaya bahwa waktu begitu cepat menariknya kembali dari kota ini, dariku.

Sesampai di pintu masuk terminal, dia menyerahkan sepenuhnya kemudi motor padaku. Aku ingin mengatakan kalau aku belum siap berpisah darinya, ditinggal sendiri lagi di kota perantauan ini. Namun yang keluar dari mulutku hanyalah, “hati – hati ya”. Dan dibalas, “iya, kamu juga” olehnya. Tak lupa aku menyunggingkan senyum sebelum menjalankan motor. Tetapi, dia menahannya dan menyodorkan sebatang cokelat padaku.

“Oh man, I wanna cry!”

Pantas saja sebelum berbelok ke warung untuk makan malam, dia sempat meminta berhenti di Indomaret. Lalu setelahnya, aku hanya tersenyum sendiri di atas motor, dan masih tidak menyangka dengan kejadian hari ini. Gunung, kamu, cokelat, dan semuanya. Aku sangat beruntung. Hari ini, dan (mungkin) seterusnya aku menjadi wanita yang benar-benar beruntung, hatiku membatin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harapan

Sepotong Cerita dengan Kamu

Nonton di Bioskop