Satu Malam
Minggu ini adalah kali pertama seseorang mengunjungiku di perantauan. Aku dan dia tidak pernah merencanakan ini sebelumnya. Kita hanya asal menentukan titik temu untuk menghabiskan weekend bersama. Aku tak tau harus bersikap seperti apa nanti, batinku. Aku belum pernah kedatangan teman lelaki sebelumnya selain pacar. Tapi dia? Tidak seperti sebelumnya, yang memiliki hubungan spesial denganku. Tenggat waktu pertemanan kita pun masih terbilang singkat.
Bagiku tak mudah menghapus jejak kenangan dalam ingatan. Terakhir kali seseorang datang padaku, lalu ia tak kembali. Ia hanya meninggalkan sisa-sisa kenangan hanya untuk merenggut kebahagiaanku. Sebenarnya untuk apa dia datang padaku? Banyak yang bilang, kalau seseorang tersebut hanya ingin pamit padaku. Meninggalkanku sendiri menyembuhkan luka.
Kali ini, ketakutanku makin menjadi. Takut kalau semua lelaki akan sama. Berakhir meninggalkan wanita untuk wanita yang lain. Aku ragu, apakah keputusanku membiarkannya menemuiku sudah tepat? Apakah ia akan menjadi penyembuh atas lukaku? Ataukah ia hanya akan membuat lukaku semakin menganga.
Aku terlalu egois jika mengharapkan sesuatu yang lebih dari seseorang yang tulus ingin berteman denganku. Aku simpan baik-baik segala keterpurukan dan kesedihan yang selama ini mengurung diriku. Bagiku, tidak layak memintanya menjadi pelipur dukaku, karena dia tidak terlibat dalam kisah bodohku di masa lampau.
Jantungku berdegup tatkala hari mulai gelap. Senja di ujung hari telah berakhir. Malam ini, dengan dihiasi rinai hujan, aku bercermin pada salah satu sisi lemariku. Aku memandang diriku, menatap matanya penuh. Hatiku mulai ragu, siapkah aku?
Detik berlalu menjadi menit, sebelum segalanya berantakan, aku harus mempersiapkan pertemuanku dengannya. Itu masalah nanti untuk memilih sikap, emosi, atau ekspresi apa yang harus ku tunjukkan pada lelaki itu.
Aku mengambil pakaian sekenanya. Lalu sekali lagi, menatap diriku pada cermin. Aku hanya berharap, malam ini menjadi malam yang berkesan untuknya. Aku tidak ingin mengecewakan siapapun hari ini, batinku. Aku tersenyum pada diriku dalam pantulan cermin, sembari berharap agar lelaki itu tidak memandang aneh penampilanku.
Tak lama, notifikasi chat pada HP-ku berbunyi. Segera ku raih HP di sebelahku. Dia mengabariku bahwa dirinya sudah di depan dengan menunjukkan foto depan indekosku untuk konfirmasi. Dengan sedikit berlari, aku segera membuka pintu depan dan gerbang indekos.
Aku melihatnya. Ya, itu dia. Lelaki yang terakhir kali aku lihat saat wisuda temanku. Lelaki yang menyapaku di perpustakaan kampus. Semuanya masih sama. Kacamatanya. Raut wajahnya. Tinggi badannya. Hanya saja, saat ini aku melihat topi bertengger menutupi kepalanya. Dalam balutan jaket jeans, dia tersenyum. Giginya berbaris rapi, meski pencahayaan agak redup, aku rasa semua orang bisa melihat bahwa wajahnya bersinar – tentu bukan dalam arti sebenarnya.
Aku mempersilakannya duduk di ruang tamu, yang memang disediakan khusus untuk tamu para penghuni indekos. Sepersekian detik, aku baru ingat bahwa aku tidak punya suguhan apapun. Huh, hatiku membatin. Beruntungnya, di depan kosan masih ada mamang tukang bakso.
Kami mengobrol untuk sekedar menghabiskan waktu. Berbasa-basi untuk saling mengenal satu sama lain. Aku rasa dia orang yang selalu ceria, karena dia orang yang suka bercanda dan selalu tertawa. Hal yang paling aku ingat kala itu, ketika dia menawarkan bukunya untukku. Buku yang sebenarnya sangat ingin ku baca, tapi masih belum berniat untuk membelinya.
It was surprised ketika ia menyodorkan buku tersebut padaku. Aku langsung meraihnya, dan membuka-buka isinya.
Oleh karena ia hanya punya 2 hari 1 malam saja di kota ini, selanjutnya ia harus kembali pada kota perantauannya, maka aku tidak ingin ia hanya sekedar duduk-duduk di indekosku lalu tidur kembali di penginapan yang ia sewa. Aku pun mengusulkan untuk mencari makan di tempat – yang dipercaya penduduk sekitar sebagai tempat romantis. Ditambah, tempat tersebut juga bisa buat jalan-jalan sembari menimbang-nimbang tempat makan mana yang akan dituju.
Gerimis masih saja enggan meninggalkan kota ini. Aku memaksanya untuk menggunakan payung, meski tidak sedikit yang berjalan santai di bawah rintik hujan. Namun, angin malam sudah menggigilkan kulit tubuhku, jadi aku tak mau mengambil risiko untuk bersin-bersin dan meler di pagi harinya.
Berjalan dengan lelaki jangkung membuatku mau tak mau harus menyamakan langkah, ditambah kami hanya menggunakan satu payung di bawah rinai hujan. Karena takut tertinggal, aku pun otomatis mencubit ujung jaketnya. Bagiku, dia sudah seperti kakak yang sedang menemani adiknya.
Kami memilih salah satu tempat makan yang cukup banyak peminatnya di kalangan mahasiswa kota ini. Kami memilih tempat yang agak jauh dari keramaian, hanya agar memiliki tempat lebih privasi untuk mengobrol tanpa terganggu pengunjung lain. Tempat tersebut cukup baik dalam penataannya. Dan yang lebih penting dari segalanya, nyaman untuk makan malam.
Tak terasa, mengobrol dengannya bisa mempersingkat waktu. Dari yang berjam-jam hanya terasa beberapa menit saja. Jam di arlojiku sudah menunjukkan angka 12 malam. Aku tidak mau mengambil risiko lebih lama lagi di luar. Karena bukankah semakin gelap suatu kota, menjadi semakin berbahaya?
Berbonceng dengannya menjadi hal paling romantis pada malam mingguku kali ini. Udara segar seusai hujan, menyelinap masuk ke lubang-lubang hidungku. Rasanya aneh, melihat kota padat ini menjadi lengang di malam hari. Meski tidak sepenuhnya para pengendara lenyap di jalanan. Aku menikmati waktu-waktu bersamanya di atas motorku. Berharap jarak menuju indekosku semakin jauh.
Setelah ia mengantarku kembali ke indekos, aku membiarkannya membawa serta motorku untuk menemaninya kembali pada penginapan. Kami pun bersepakat untuk bertemu keesokan harinya. Dan aku tak sabar menunggu hari esok. Pada malam itu, sembari menatap punggungnya yang semakin jauh, aku berharap motorku menjaganya, dan mengantarnya dengan selamat ke penginapan. Aku berharap, setelah pertemuan ini, aku tidak menemui perpisahan kembali :)
Komentar
Posting Komentar